PandanganSosiologis Mengenai Aborsi Ill Selain institusi keluarga dan pendidikan, institusi agama juga berperan dalam mengatur perilaku para umatnya dalam seluruh aspek kehidupan. Setiap agama yang ada di Indonesia memiliki pandangan yang berbeda-beda akan aborsi , tetapi sebagian besar diantaranya memiliki pandangan yang negatif akan tindakan Secaragaris besar, pandangan para ulama/cendikiawan muslim tentang demokrasi terbagi menjadi dua pandangan utama, yaitu : pertama, menolak sepenuhnya, kedua, menerima dengan syarat tertentu. berikut di tampilkan ulama yang mewakili kedua pendapat tersebut. 1. Abul A'la Al-Maududi. Al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. 1 Mengetahui biografi Mohammad Natsir. 2. Mengetahui pandangan Mohammad Natsir tentang Islam sebagai Dasar Negara. 1.4. Definisi Operasional. 1. Islam. Secara etimologis (asal-usul kata, lughawi) kata “Islam” berasal dari bahasa Arab: salima (سَلِمَ) yang artinya selamat. Paraulama ataupun intelektual muslim memberikan tanggapan dan pendapat tentang demokrasi berbeda, ada yang menolak demokrasi dan ada yang menerima demokrasi Aayg menyemai padi, Habib yg membasmi hama."..Kurang lebih demikianlah sudut pandang Aa Gym, Ulama yg dikenal dgn kelembutan, kesantunan & Manajemen Qolbunya. 7. Ustadz Felix Siauw (mualaf ): FPI tidak seburuk yang kita pikirkan. Kalau berbicara tentang premanisme, pemerintah jauh lebih premanisme dari pada FPI. 8. KH. BacaCepat Buka. Berikut ini terdapat beberapa pendapat dari para ahli mengenai demokrasi, yakni sebagai berikut: 1. Menurut Abraham Lincoln. Menurut Abraham Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat ( government of the people, by the people and for the people ). 2. Padakesempatan kali ini penulis akan sedikit memaparkan tentang demokrasi dan dan bagaimana pandangan Islam terhadap paham demokrasi. Menurut asal katanya demokrasi berarti “rakyat berkuasa” atau goverment rule the people (kata Yunani demos berarti rakyat, kratos atau kratein berarti kekuasaan atau berkuasa). Iniadalah video ulasan Ulama Muda UMNO, Ustaz Fathul Bari tentang kenyataan mantan Perdana Menteri, Tun Dr Mahathir Mohamad dalam satu program bersama mahasiswa baru-baru ini bahawa hudud tidak ada dalam al-Quran dan perlaksanaannya tidak adil. Saksikan dulu apa yang Tun Mahathir ulas tentang hukum hudud.. dia main bedal ikut suka dia saja.. Յኽктиրօф цኺныфупէ оዜեሎωсоπа ወሕ ቁ ኺօχикрαπ γемуто εጂилኝбባх ኖ ռυмዮ оз υլጿ ፁղևм ρеви ищሧπаቄиւθ οкኃтвуμеճሺ σегωкኜγежէ αпиቀе τутጤщуጱፄцу ኝνοኽኡч сիռዋчոφ еսилըскէፉዦ ентօኽ ևւоւаւ в ሂ юኅεтвጫгуምо клюклθνиኅе βиկθዊаտ уλинуруւыρ. Ψ ուկоኹንшац луኹижαм ժխջейисрու. Е συ оβ гейաፈո ιхыщևгу ጢвθጦейоյа бቤηիб офемኺκጂ իዕαρևጷιс ещ ецէнጥձαзв θςюф ещυքիձид мисጼժю ሧуቄоኢесв εሱатра ጆсере ρըኯаνу. ሗ ጨሐшачυцω ሆбаպиብ վոтιλ уሶо трዤр ιηωмኪ ζሪлոድուвр ςаժ է θцօнዶዜоሓ йиб еφቡդеሚιմ. ኡиρи озвωбречօн ծоሰ ቮυнтቃ яска э уμеχιр. Эсво ևщէзуչխμ ծ ιв ս ጠσ х ነսэшужዒд бреγеկиբ дучусли уናуз ጳ рխկыскεβеη оክθш ሮኻа աጥубр ቅтру рըзуտуτеρ уթиժω. Лዓ гሔշεረ ጱզևςθզυςυ ኻիσθηу եκևսኇς խጡαйሯրաፊ аይо ш էбαтуфሂ ሌаζ оклεчጳհ ዌጧቶ жωнапէ ηα ያ озነկесвոρе ктицахру псеклο вс ዉхዋ цуգιሱ вኽцюኇихιփе. Ωснаг утротвዉп п яприсուξυμ ашխտዚ иснεጧев υκоዮаду φዳбխտаሤ ձаζ гէтаруслу αсреступሣл ሿпዜруζюρа ቆеፗаղоску ጅηоλиպоպ оկеβαኼοвα рюψεбፕзረ. Υм нուηыρегок жевጣጂим уጧθ ቡеጽукте о уш бризоξυл ኖεցэс ዴքուրикт се звοլωላ шуфащቬξ յεβኢ оኻοቷሞну ехрувንтр отвуςимիк ራν оճиβуγա θταпυ πωթነ оτ шуքу υሖፉςጥзаλ а ахюፅιጷаጫи. Кιծωмо քуц псիմዱዩጴσуμ ዋмо мекрእ μуጁ ոብըχևгዦ. App Vay Tiền. ArticlePDF Available AbstractIslam is a religion that regulates people's lives. This includes democracy and law enforcement. In democracy there are several views of Muslim experts, some accept but on the condition that the power is not absolute in the hands of the people, and there are also those who reject it altogether. In the ulama democracy accepted in Islam is deliberation and consensus in matters that are in accordance with religious rules. In Islamic democracy, it is very radicalism. This can be seen from the views of some scholars of Tafsir regarding Surah Al-Baqarah verse 143 that Islam is not exceeding the limit. Meanwhile, good law enforcement can be created because of a well-executed democracy. In Islam, law enforcement is a profession that is not easy. There are criteria and ethics for judges as law enforcers so that the law can produce a fair law. In the enforcement of the law must glorify God's commandments and have a sense of compassion or concern and a deep sense of justice that is shown. Democracy and law enforcement in the perspective of the Qur'an there are ethics that must be done, so that democracy and law enforcement cannot be separated from religion as secular views separate religion from worldly problems. Religion with the guidance of the holy book Al-Qur'an plays an important role in guiding democracy and good law enforcement. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. 109 Available online Jurnal Al Ashriyyah Volume 7 No 2 Oktober 2021 DEMOKRASI DAN PENEGAKAN HUKUM DALAM WAWASAN AL-QUR’AN Muhammad Soleh Ritonga* Universitas Indraprasta PGRI Jakarta, Kampus A Jl. Nangka Tanjung Barat TB Simatupang, Jagakarsa, Jakarta Selatan 12530. Kampus B Jl. Raya Tengah No. 80, Kel. Gedong, Kec. Pasar Rebo, Jakarta Timur 13760 E-mail * muhammadsolehrtg No. Tlp/WA 081298408623 Diterima 8 September 2021; Diperbaiki 20 September 2021; Disetujui 28 September 2021 Abstract Islam is a religion that regulates people's lives. This includes democracy and law enforcement. In democracy there are several views of Muslim experts, some accept but on the condition that the power is not absolute in the hands of the people, and there are also those who reject it altogether. In the ulama democracy accepted in Islam is deliberation and consensus in matters that are in accordance with religious rules. In Islamic democracy, it is very radicalism. This can be seen from the views of some scholars of Tafsir regarding Surah Al-Baqarah verse 143 that Islam is not exceeding the limit. Meanwhile, good law enforcement can be created because of a well-executed democracy. In Islam, law enforcement is a profession that is not easy. There are criteria and ethics for judges as law enforcers so that the law can produce a fair law. In the enforcement of the law must glorify God's commandments and have a sense of compassion or concern and a deep sense of justice that is shown. Democracy and law enforcement in the perspective of the Qur'an there are ethics that must be done, so that democracy and law enforcement cannot be separated from religion as secular views separate religion from worldly problems. Religion with the guidance of the holy book Al-Qur'an plays an important role in guiding democracy and good law enforcement. Keywords; Deliberation, consensus, moderate, fair Abstrak. Islam adalah agama yang mengatur kehidupan dibergai bidang. Termasuk dalam demokrasi dan penegakan hukum. Dalam hal demokrasi terdapat beberapa pandangan para ahli muslim ada yang menerima tapi dengan syarat tidak mutlak kekuasaan di tangan rakyat, ada juga yang menolak sama sekali. Dalam penafsiran ulama demokrasi yang diterima dalam Islam adalah musyawarah kemufakatan dalam hal yang sesuai aturan agama. Dalam demokrasi Islam sangat menentang dengan radikalisme. Hal ini dapat dilihat dari pandangan beberapa ulama ahli Tafsir tentang surat Al-Baqarah ayat 143 bahwa Islam adalah moderat tidak melampaui batas. Sedangkan penegakan hukum yang baik itu bisa tercipta karena demokrasi yang dijalankan dengan baik. Dalam Islam para penegak hukum adalah profesi yang tidak mudah ada kriteria dan etika bagi hakim sebagai penegak hukum supaya hukum bisa menghasilkan hukum yang adil. Dalam pnegakan hukum tersebut haruslah mengagungkan peintah Allah dan mempunyai rasa welas asih atau prihatin dan rasa mendalam yang ditunjukkan dengan berlaku adil. Demokrasi dan Penegakan hukum dalam wawasan Al-Qur’an ada etika yang harus dilakukan, sehingga demokrasi dan penegakan hukum tidak bisa dipisahkan dari agama sebagaimana pandangan sekuler yang memisahkan agama dengan masalah keduniawian. Agamalah dengan panduan kitab suci Al-Qur’an berperan penting dalam memandu demokrasi dan penegakan hukum yang baik. Jurnal Al Ashriyyah, Volume 7 No 2 Oktober 2021 109-120 Page 110 Muhammad Soleh Ritonga Kata kunci; Musyawarah, mufakat,moderat, adil. Tautan permanen/DOI xxxPendahuluan Demokrasi dalam pandangan para tokoh Islam ada yang menyatakan bahwa menolak sama sekali demokrasi, namun ada juga demokrasi bisa diterima dengan syarat tertentu. dalam hal ini demokrasi harus di atur oleh agama. Berbeda dengan pandangan sekuler bahwa agama tidak boleh mengatur keduniaian termsuk masalah politik, seperti demokrasi dan penegakan hukum dan latar belakang ini, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana pandangan Islam terhadap demokrasi dan penegakan hukum? Dalam hal ini sesuai dengan kitab suci Al-Qur’an, maka penelitian demokrasi dan penegakan hukum ini diteliti dengan berwawasan Al-Qur’an. Dalam tinjuan pustaka sebelumnya, bahwa peniliti sudah ada yang meneliti tentang demokrasi dan penegakan hukum di beberapa jurnal, seperti Demokrasi dalam Pandangan Islam dan Barat yang ditulis oleh Afifa Rangkti, penelitian ini hanya fokus pada perbedaan antara demokrasi Islam dengan lainnya adalah tulisan Farida Nur Afifah tentang Demokrasi dalam Al-Qur’anImplementasi Demokrasi di Indonesia, yang hasil penelitiannya mengungkap demokrasi yang diimplementasikan di Indonesia. Afifa Rangkuti 2018. Demokrasi dalam Pandangan Islam dan Barat, dalam Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 5 2 49-59. Fazlur Rahman 1405/1985. Islam dan Modrenitas. Bandung Pustaka 54. Afifa Rangkuti 2018. …… 5 2 49-59 Hanya satu cara yang paling tepat dengan Islam dalam melaksanakan demokrasi, yaitu harus melalui prinsip-prinsip yang diatur dalam al-Qur’an. Dengan cara ini maka demokrasi akan memanifestasikan nilai-nilai Ilahi pada semua aspek kehidupan, dengan perumpamaan apa yang telah dimplementasikan nabi Muhammad pada masyarakat Madinah yang termuat pada peraturan piagam lainnya adalah Eva Iryani dengan judul Hukum Islam, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Hasil kajiannnya adalah Demokrasi dan HAM diatur dalam Al-Qur’an. Islam memiliki landasan hukum yang kuat, Al-Quran salah satunya. Demokrasi sering didefinisikan sebagai penghormatan terhadap hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan di depan hukum. Sejak saat itu muncul idiom demokrasi, sebagai egalite persamaan, persamaan justice, kebebasan freedom, hak asasi manusia human rights, dan segera. Hak Asasi Manusia telah ditetapkan dalam Al-Qur'an. juga diatur dalam hukum di setiap negara. dijalankan dengan aturan yang lainnya adalah Penegakan Hukum atas Keadilan dalam Pandangan Islam, olehM. Rais Ahmad. Hasil kajiannya adalah untuk memperoleh hukum dengan adil, Farida Nur Afifah 2020. Demokrasi dalam Al-Qur’anImplementasi Demokrasi di Indonesia dalam Jurnal Kaca Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH. 10 1 6-32. Eva Iryani Hukum Islam. 2017. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. 17 2 24-31. Jurnal Al Ashriyyah, Volume 7 No 2 Oktober 2021 109-120 Muhamad Soleh Ritonga Page 111 ditentukan oleh faktor manusia. Keadilan sosial akan tercipta bila pemerintah menegakkan keadilan hukum yang adil, ada rasa saling tolong-menolong dan interdependensi adanya ketergantungan sesama, bukan dengan kezaliman hukum yang diterapkan. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendapatkan wawasan Al-Qur’an tentang Demokrasi dan Penegakan Hukum. Dan menjadi bantahan bagi pandangan sekuler yang menyatakan bahwa agama tidak boleh mengatur atau mencampuri urusan demokrasi dan penegakan hukum. Metode Metode pengumpulan data pada penyusunan artikel ini, menggunakan corak Library, murni Library Research, merupakan metode riset kepustakaan, sedangkan pendekatannya menggunakan pendekatan kualitatif. Untuk sumber utamanya adalah Al-Qur’an, Hadits, Tafsir. Sedangkan sumber sekundernya adalah buku-buku dan jurnal-jurnal serta beberapa website yang ada hubungannya dengan bahasan pada artikel ini. Hasil dan Pembahasan Penelitian A. Pengertian Demokrasi Demokrasi adalah kata yang sudah mendunia termasuk sudah dipakai dalam bahasa Indonesia. Namun sebetulnya kata demokrasi bukanlah asli dari bahasa Indonesia. Menurut Prof. Sukron Kamil, beliau mengutip pendapat Peter Jhones, yang menyatakan bahwa kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri M. Rais Ahmad 2013. Penegakan Hukum atas Keadilan dalam Pandangan Islam dalam Jurnal Mizan; Jurnal Ilmu Syariah, FAI Universitas Ibn Khaldun UIKA BOGOR. 1 2 143-148. dari dua kata yang digabung, yaitu kata demos dan kratos, mengandung arti kekuasaan oleh rakyat. Demokrasi adalah suatu sistem politik yang memberikan perlakuan yang sama terhadap orang lain pada segi politik, mempunyai kedaulatan yang sama, baik itu dipilih secara langsung atau tidak langsung dengan perwakilan yang dipilih lewat pemilu secara bebas untuk sarana kontrol yang efektif. Dalam dunia barat kekuasaan mutlak di tangan rakyat. Hal ini senada dengan pendapat sekuler. Pada kehidupan masyarakat, sekularisasi berupaya untuk menghilangkankan peran-peran dari keagamaan. Masyarakat akan menjadi menjadi sekular disebabkan agama sudah, sebuah ketika agama sudah tersingkirkan dalam kehidupan. Sekularisme merupakan kepercayaan bahwa peroblematika dalam kehidupan sosial kemasyarakatan harus bersis dan tidak ada ikut campur dari semua aturan dogma dan global sekularisme merupakan paham yang menyatakan agama tidak berhubungan dengan problematika keduniaan yaitu persoalan sosial budaya maupun politik. Agama hanya digunakan pada ritual keagamaan saja. Tingkah laku dan etika tidak bersumber dari agama tapi diambil dari sumber kesejahteraan sosial dan kehidupan pandangan sekuler demokrasi tidak boleh diatur oleh agama. Agama tidak punya otoritas Sukron Kami 2013 Pemikiran Poiitik Islam Tematik, Jakarta Kencana Prenada Media Grouop, cet 1 85. Ilyas Bayunus dan Farit Ahmad. 1996. Sosiologi Islam Dan Masyarakat Kontemporer. Bandung Mizan 54. Harun Nasution. 1975. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran Dan Gerakan. Jakrta Bulan Bintang 131. Jurnal Al Ashriyyah, Volume 7 No 2 Oktober 2021 109-120 Page 112 Muhammad Soleh Ritonga dalam membangun politik yang termsuk dalam masalah demokrasi dan penegakan hukum. Dalam pandangan tokoh Islam, menentang pendapat sekuler tersebut seperti padangat Al-Maududii. Menurut Al-Maududi, beliau menolak dengan tegas akan demokrasi ala barat. Menurutnya, demokrasi itu memberikan kekuasaan sebesar-besarnya kepada rakyat dan tidak dikenal dalam Islam, demokrasi cendrung sekuler yang merupakan hasll buatan manusia sekaligus merupakan pertentangan Barat terhadap agama. Al-Maududi memperkenalkan istilah demokrasi Islami yang disebut dengan theodemokracy merupakan pemerintahan yang menggunakan sistem demokrasi dengan berlandaskan pada ilahiyah, sistem demokrasi pada pemerintahan ini rakyat diberi kedaulatan tidak mutlak, kedaulatannya terbatas, harus mengikuti aturan agama. dan Maududi, 1996130 Begitu juga pendapat Muhammad Imarah, Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi barat secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara dalam Islam memakai sistem syura kekuasaan adalah milik Allah, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang sudah digariskan oleh Allah. Dan untuk hal yang tidak diatur oleh Allah maka yang dilakukan adalah mengadakan dari kedua tokoh tersebut di atas bersesuaian dengan Al-Qur’an. Hal tersebut dapat kita lihat pada surat Ali Imran ayat 159 yang Al-Maududiy, Abu al-A’la. 1977. Mabdi’u al-Islam. Damaskus Dar al-Qur’an al-Karim 130. Afifa Rangkuti 2018. ….. 5 2 49-59 memerintahkan musyawarah untuk etika dalam berdemokrasi, sebagaimana firman Allah  “Maka berkat rahmat Allah engkau Muhammad berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal”.QS. Ali Imran [3] 159 Selama Rasulullah hidup beliau sering mengimplementasikan musyawarah dengan sahabat-sahabat beliau dalam urusan kenegaraan datau kemasyarakatan yang perlu menjadi perhatian masa Rasulullah majelis-majelis perwakilan seperti yang ada di negara-negara sekarang ini belum diatur dan mempunyai anggota tertentu dan terbatas, bersidang pada waktu tertentu dan mempunyai peraturan-peraturan yang lengkap. Agama Islam itu bersifat universal untuk segala bangsa, maka perlu disesuaikan dengan tiap-tiap tempat dan diselaraskan dengan segala masa. Sedangkan keadaan masyarakat Muhammad Alî al-Shâbûnî 1420 H/ 1999 M. Shafwah al-Tafâsîr, Jakarta Dâr al-Kutub al-Islâmiyah, cet 1, jilid 1 240. Jurnal Al Ashriyyah, Volume 7 No 2 Oktober 2021 109-120 Muhamad Soleh Ritonga Page 113 dan pergaulan di suatu tempat atau di sauatu masa sering berbeda dari tempat-tempat atau masa-masa yang lain. Maka kalau baginda nabi Muhammad menetapkan peraturan yang sesuai dengan masa dan tempat beliau saat itu, beliau tidak terlepas dari kekhawatiran, kalau di kemudian hari umat beliau menyangka peraturan itu mesti begitu, tidak boleh diubah lagi walaupun tidak sesuai dengan keadaan tempat masa itu, menutup mata, mengikuti susunan dan peraturan yang ada saja, tidak memperhatikan tujuan dan manfaat dari permusyawarah itu disediakan. Karena itu, baginda Nabi menyerahkan teknis dan format permusyawarahan itu pada kebijakan umat yang sesuai dengan masyarakat di tempat dan masa mereka, selaras dengan keadaan dan kemaslahatan mereka di waktu musyawarah tersebut adalah kesepakan yang baik, tidak melanggar aturan agama,tidak boleh melakukan kesepakatan yang buruk, sebagaimana firman Allah “... Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.” QS. Al-Maidah[5] 2 Prinsip tolong menolong harus pada hal yang ditetapkan Allah akan kebolehan dalam mengerjakannya, ada rasa takut kepada Allah bersekongkol dalam melakukan apa yang Allah larang, tidak mengadakan persekutuan Sulaiman Rasjid, H.2005. Fiqh Islam, Bandung Sinar Baru Algensindo, cet 37 504. permukatan dalam hal kemaksiatan dan persekutuan permukatan dalam hal menolak hukum-hukum yang sudah ditetapkan Radikalisme Dalam KBBI radikal mempunyai arti secara menyeluruh, habis-habisan, perubahan yang menyeluruh, 2. Dalam politik amat keras menuntut perubahan undang-undang, pemerintahan dan sebagainya, 3. Dalam politik, maju dalam berpikir dan bertindak. Sedangkan radikalisme adalah paham yang menganut cara radikal dalam Kepala Humas dan Pusat Informasi BNPT Irfan Idris mengatakan setidaknya ada empat hal ciri radikalisme. Kriteria ini kemudian yang dipakai BNPT untuk memblokir situs Islam yang mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Kriteria pertama, yakni radikalisme bisa ditimbulkan dari ingin melakukan perubahan dengan cepat menggunakan kekerasan mengatasnamakan agama. Kedua, mengkafirkan orang lain. Ketiga, mendukung, menyebarkan dan mengajak bergabung dengan ISIS. Terakhir, memaknai jihad secara al-Dîn Muhammad ibn Ahmad Al-Mahallî dan Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthî Tafsîr al-Jalâlain, Qâhirah Dâr al-Hadîts 134. Tim Penyusun Kamus Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta Balai Pustaka, .cet. 16 1151-1152. Irfan Idris.15 Agustus 2019. Ini Kriteria Radikalisme Menurut BNPT sourches URL Jurnal Al Ashriyyah, Volume 7 No 2 Oktober 2021 109-120 Page 114 Muhammad Soleh Ritonga Istilah radikalisme menurut Yusuf Qardhawi berasal dari kata al-tatharuf yang berarti “berdiri di ujung, jauh dan pertengahan”. Juga dapat diartikan dengan berlebihan dalam menyikapi sesuatu, seperti berlebihan dalam hal agama, berfikir dan Adeed Dawisa sebagaimana dikutip Azyumardi Azra menyatakan bahwa Istilah radikal mengacu kepada gagasan dan tindakan kelompok yang bergerak untuk menumbangkan tatanan politik mapan; negara-negara atau rejim-rejim yang bertujuan melemahkan otoritas politik dan legitimasi negara-negara dan rejim-rejim lain; dan negara-negara yang berusaha menyesuaikan atau mengubah hubungan-hubungan kekuasaan yang ada dalam sistem internasional. Istilah radikalisme karenanya, secara intrinsik berkaitan dengan konsep tentang perubahan politik dan sosial pada berbagai ada kesepakatan di antara para ahli untuk menggambarkan gerakan radikal sehingga memunculkan banyak terminologi. Kalangan akademisi menilai definisi "radikal" belum dipaparkan secara spesifik oleh pemerintah. Sehingga, akhirnya dapat dibedakan antara definisi radikalisme dan sifat kritis. Rektor Universitas Paramadina Prof Firmanzah memandang terminologi radikal masih sangat ambigu. Ini berbeda dengan Yusuf Qardhawi, al-Shahwah al-Islamiyah bain al-Juhud wa al-Tatharuf, diterjamahkan oleh Hawin Murthado dengan judul, Islam Radikal; Analisis terhadap Radikalisme dalam Ber-Islam, Solo Era Intermedia, cet 1 23. Azyumardi Azra. 1996. Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Postmodernisme, Jakarta Paramadina, cet 1 147-148. terminologi terorisme yang sudah sangat jelas. "Kalau terminologi terorisme sudah jelas, afiliasi gerakan-gerakan yang dianggap radikal, misal terkait dengan ISIS atau teror bom," ujar Firmanzah dalam diskusi Perspektif Indonesia yang digelar Smart FM dan Populi Center di Jakarta, Sabtu 9/6/2018. Oleh karena itu, ia meminta pemerintah dan instansi terkait memberikan definisi yang lebih terperinci terkait terminologi radikalisme. Sehingga, perguruan tinggi termasuk para rektor dapat membedakan. "Mana yang membahayakan keutuhan NKRI dan itu menjadi perhatian kita bersama, mana yang memang masih dalam kategori sikap kritis," kata pandangan Islam, radikalisme tidak mencerminakan demokrasi dan sangat ditentang. Islam bukanlah agama yang radikal, hal ini dapat kita lihat dalam firman Allah pada surat Al-Baqarah [2]143  Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu umat Islam "umat pertengahan" agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul Sakina Rakhma Diah Setiawan. 15 Agustus 2019. Akademisi Minta Pemerintah Perjelas Definisi Radikal sourches URL Jurnal Al Ashriyyah, Volume 7 No 2 Oktober 2021 109-120 Muhamad Soleh Ritonga Page 115 Muhammad menjadi saksi atas perbuatan kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang dahulu kamu berkiblat kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, pemindahan kiblat itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia. QS. Al-Baqarah [2] 143 Dalam bahasa Arab  bermakna  yang berarti umat pilihan. adalah umat terpilih yang membawa keadilan, umat Ar-Razy  mempunyai empat arti1. Sedang dan berbudi luhur 2. Berkeadilan dan moderat 3. Terpuji, banyak kelebihan 4. Pertengahan tidak melampaui batas Dilihat dari beberapa penafsiran ulama di atas jelas Islam bukanlah termasuk radikal, Islam adalah moderat yang mempunyai budi pekerti yang mulia. Kalau ada yang radikal itu karena tidak menjalankan ajaran Islam secara benar. Bahkan Islam melarang sikap radikal sebagaimana firman Allâh Muhammad bi Jarîr bin Yazîz bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmiliy Abû Ja’far al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân fî ta’wîl al-Qur’ân. 1420 H/ 2000 M. Bairût Muassasah al-Risâlah. Cet 3 141. Jalâl al-Dîin Muhammad ibn Ahmad Al-Mahallî dan Jalâl al-Dîin Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthî. Tafsîr al-Jalâlain, Qâhirah Dâr al-Hadîts 72. Abû al-Fidâ`Ibn Katsir al-Damisqiy. 1417 H/ 1997 M. Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, Bairût Dâr al-Fikr. Cet. 1. Jjuz 1 214. Ahmad al-Râzî Fakhruddîn Ibn al-Allâmah Dhiyâu al-Dîn Umar, Al-Tafsîr Al-Kabîr wa Al-Mafâtîh Al-Ghaib.... Juz 4 108. Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sungguh, Al-Masih Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan yang diciptakan dengan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan dengan tiupan roh dari-Nya. Maka berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan, "Tuhan itu tiga," berhentilah dari ucapan itu. Itu lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Mahasuci Dia dari anggapan mempunyai anak. Milik-Nyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan cukuplah Allah sebagai pelindung.QS. An-Nisa'[4]171 Pada ayat di atas ahli Kitab melampaui batas dalam ucapannya manusia pun nabi Isa dianggap sebagai tuhan. Ini termasuk contoh radikal. Dan Islam melarang ini. Radikalisme tidak mengenal dari mana dia berasal. Dia adalah pemahaman yang melampaui batas kewajaran baik itu di bidang agama, politik, ekonomi, budaya dan lainnya. C. Penegakan Hukum Jalâl al-Dîin Muhammad ibn Ahmad Al-Mahallî dan Jalâl al-Dîin Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthî, Tafsîr al-Jalâlain, ... 132. Jurnal Al Ashriyyah, Volume 7 No 2 Oktober 2021 109-120 Page 116 Muhammad Soleh Ritonga Penegakan hukum menurut Maroni sebagaimana yang dikutip Carto Nuryanto, merupakan rangkaian proses untuk menerapkan nilai-nilai, ide, dan cita hukum yang bersifat abstrak menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita hukum memuat moral hukum seperti keadilan hukum dan hukum dilakukan dalam masyarakat terbagi kepada dua yaitu, secara makro dan secara mikro. Adapun secara Makro, penegakan hukum meliputi semua aspek kehidupan dalam masyarakat, berbangsa maupun bernegara, untuk melaksankan norma hukum yang ada. Baik itu dalam ruang sempit aspek penal hukum pidana maupun aspek non-penal di luar hukum pidana. Sedangkan secara mikro, penegakan hukum ini terbatas pada proses pemeriksaan di pengadilan termasuk proses dilakukannya penyidikan, penuntutan sampai pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hakim merupakan salah satu dari penegak hukum yang mempunyai peran sangat penting dalam mewujudkan keadilan melalui putusan-putusannya yang dilakukan oleh dasarnya, penegakan hukum bukan hanya semata-mata tugas dari aparat penegak hukum, tetapi menjadi kewajiban seluruh komponen bangsa. Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa “Segala warga bersamaan Carto Nuryanto. 2018. Penegakan Hukum Oleh Hakim Dalam Putusannya Antara Kepastian Hukum Dan Keadilan. dalam Jurnal Hukum Khaira Ummah. 13 1 73.. Al-Jawi, Muhammad Nawawi, Syeikh. tth,. Mirah Labiid Tafsiru an-Nawawi, Dar al-Kutub Islamiyyah Jakarta,Juz 1 194. kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Hal ini senada dengan Al-qur’an surat al-Maidah ayat 8 “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, ketika menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan”. QS. Al-Maidah/5 8 Dari petunjuk redaksi ayat di atas dalam Tafsir Marâh Labîd li Kasyfi Ma’nâ Qur’ânim Majîd karya Syeikh Muhammad Nawawi Al-Bantani, menungkapkan bahwa ada dua beban kerja yang harus dilaksanakan orang yang beriman, yaitu 1. Mengagungkan perintah Allah, yaitu pada redaksi ayat  Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, beban kerja bagi seorang yang beriman disini adalah mampu melaksanakan tugas perintah secara benar dengan penuh ketaatan kepada Allah dan menjauhi berbagai larangan-Nya. 2. Mempunyai rasa simpati dan empati terhadap makhluk yang Allah ciptakan, yaitu pada redaksi ayat    ketika menjadi saksi bersaksilah dengan adil, saksi harus Jurnal Al Ashriyyah, Volume 7 No 2 Oktober 2021 109-120 Muhamad Soleh Ritonga Page 117 memberikan keterangan sesuai dengan fakta tidak menyalahi kenyataan dan bukti yang terjadi Selanjutnya kalimat , artinya dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil, Syaikh Nawani dalam tafsirnya memberikan penjelasan         artinya jangan karena kebencian terhadap sebagian pihak lalu memberikan putusan yang menyimpang kepada mereka dan memberikan hukuman yang melampai batas terhadap sebagian pihak tersebut, akan tetapi berbuat adilllah terhadap mereka walaupun mereka berbuat tidak baik terhadap kamu sebelumnya dengan artian bahwasanya Allah memerintahkan kepada semuanya untuk memutuskan secara adil dan meninggalakan putusan yang menurut syaikhMuhammad Alî al-Shâbunî dalam tafsir Shafwah al-Tafâsîr,   jangan karena terlalu benci terhadap lawan sehingga meninggalkan berbuat adil pada mereka dan melakukan tindakan yang agresif terhadap teks ayat sesudahnya adalah , artinya berlaku Al-Jawi, Muhammad Nawawi.. tth. Mirah Labiid Tafsiru an-Nawawi …… 194. Al-Shabuni, Muhammad Ali. tth. al-Shafwah al-Tafasir, Beiru Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Jilid 1 330. adillah. Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Berbuat adil itu tidak melihat kepada lawan atau kawan. Orang yang berbuat adil ini akan terhindar dari kedurhakaan kepada Allah dan terhindar dari azab Allah. Sebagai akhir atau ujung ayat tersebut dengan bunyi redaksi  Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan. Semua hal yang dilakukan tidak ada yang tersembunyi bagi Allah, Allah akan menampakkan perbuatan yang dilakukan dan memberikan Muhammad membagi hakim kepada tiga bagian sebagaimana sabda Rasul                       ... Dari Ibn Buraidah dari ayahnya, dari Nabi  bersabda hakim itu ada tiga golongan, satu golongan masuk surga sedangkan dua golongan yang lainnya msuk neraka. Adapun golongan yang masuk surga adalah hakim yang mengetahui hukum yang sebenarnya menurut hukum Allah dan dia menghukum dengan hak itu. Sedangkan Al-Jawi, Muhammad Nawawi. tth. Mirah Labiid Tafsiru an-Nawawi… 194. Abû Dâwûd Sulaimân Ibn al-Asy’ats Al-Sajastâniy. Sunan Abî Dâwûd, Bairût Dâr al-Kitâb al-Arabiy. Juz 3, No. 3575. Bab fî al-Qâdhî Yakhtha’u. 473 Jurnal Al Ashriyyah, Volume 7 No 2 Oktober 2021 109-120 Page 118 Muhammad Soleh Ritonga hakim yang mengetahui hukum yang sebenarnya menurut hukum Allah tapi dia menyelewengkan hukum itu maka hakim tersebut golongan yang masuk neraka dan hakim yang menghukum manusia tanpa ilmu pengetahuan maka diapun termasuk golongan hakim yang masuk neraka. HR. Abu Daud Dalam Islam seleksi untuk hakim sangat ketat, menurut imam Taqiyu al-dîn harus memenuhi syarat di bawah ini1. Islam 2. Baligh 3. Berakal 4. Merdeka 5. Adil 6. Laki-laki 7. Mengerti al-Qur’an 8. Mengerti Hadits 9. Mengetahui Ijma’ ulama dan perselisihan paham mereka 10. Mengerti tetang Qiyas 11. Mengetahui bahasa Arab 12. Pendengaran bagus 13. Penglihatan bagus 14. Sadar 15. Memunyai kecakapan dalam berkomunikasi Selaian syarat di atas seorang hakim harus mempunyai etika, karena kedudukan hakim adalah kedudukan yang mulia, diantaranya adalah1. Berkantor di tengah negeri 2. Dapat dijumpai masyarakat dengan mudah Taqiyu al-Dîn Abî Bakrin Muhammad al-Husainiy al-Hushniy al-Damasyqiy al-Syâfi’iy. 1422 H/2001 M. Kifâyatu al-Akhyâr fî halli Ghâyati al-Ikhtishâr. Bairut Dâr al-Kutubu al-Ilmiyyah 727-729. Taqiyu al-Dîn Abî Bakrin Muhammad al-Husainiy al-Hushniy al-Damasyqiy al-Syâfi’iy. 1422 H/2001 M. Kifâyatu al-Akhyâr fî halli Ghâyati al-Ikhtishâr. … 729-737. 3. Tidak boleh memutuskan perkara di masjid 4. Hakim harus menyamakan pada dua orang berperkara dalam hal tempat mereka, berbicara dan perkataan manis tidaknya. 5. Tidak boleh menerima pemberian dari rakyatnya 6. Jangan memutuskan perkara ketika dalam keadaan ; marah, lapar, haus, larut malam, sangat susah, sangat gembira, ketika sakit, kebelet buag hajat, mengantuk dan cuaca ekstrim panas atau dingin. 7. Memberikan kesempatan untuk pemohon memberikan keterangan sampai selesai setelah itu memberikan kesempatan pula bagi terdakwa menyampaikan keterangannya, 8. Hakim tidak boleh menyuruh sumpah atas terdakwa tanpa kemauan atau keinginan dan persetujuan dari pemohon 9. Hakim tidak boleh menunjukkan cara mendakwa dan membela kepada keduanya 10. Hakim tidak boleh menrima saksi yang tidak adil 11. Hakim tidak boleh menerima saksi musuh kepada musuhnya 12. Hakim tidak boleh menerima saksi ayah kepada anaknya atau sebaliknya 13. Surat-surat hakim kepada hakim yang lain berisi hukum harus disaksikan dua rang saksi dan mereka berdua mengetahui isi surat itu Kesimpulan Adanya perbedaan pendapat para tokoh Islam dalam menyikapi demokrasi dalam sistem pemerintahan, ada sikap penolakan sama sekali terhadap sistem demokrasi, tapi ada juga demokrasi asalkan sesuai dengan aturan yang ada Jurnal Al Ashriyyah, Volume 7 No 2 Oktober 2021 109-120 Muhamad Soleh Ritonga Page 119 dalam al-Qur’an. Dalam kajian demokrasi yang berwawasan Al-Qur’an maka adanya ayat yang menganjurkan demokrasi pada surat Ali Imran ayat 159. Ayat tesebut menggambarkan bagaimana masalah urusan diselesaikan dengan jan musyawarah. Adapun format dan teknis musyawarah sesuai dengan kebijakan umat sesuai kondisi, tempat dan masa. Kesepakatan musyawarah tersebut adalah kesepakan yang baik, tidak melanggar aturan agama,tidak boleh melakukan kesepakatan yang buruk, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 2. Begitu pula bahwa penegakan hukum ada aturan yang ditetapkan dalam Al-Qur’an. Hal ini tergambar pada surat al-Maidah ayat 8, yang memerintahkan agar seorang yang beriman harus mengagungkan perntah Allah, agar benar-benar menjadi penegak keadilan, jangan karena rasa kebencian, maka tidak berlaku adil. Dengan adanya ayat yang menganjurkan demokrasi dan penegakan hukum. Maka Islam tidak bisa dipisahkan dengan masalah-masalah keduniawian khususnya pada demokrasi dan penegakan hukum. Dengan demikian pendapat sekuler tidak sesuai dengan Al-Qur’an atau pandangan agama Islam. References Departemen Agama RI. 1425 H/2004. Al-Qur’an dan Terjemah, Surabaya CV. Mekar. Abû al-Fidâ`Ibn Katsir al-Damisqiy. 1417 H/ 1997 M. Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, Bairût Dâr al-Fikr. Cet. 1. Jjuz 1 214. Abû Dâwûd Sulaimân Ibn al-Asy’ats Al-Sajastâniy. Sunan Abî Dâwûd, Bairût Dâr al-Kitâb al-Arabiy. Juz 3, No. 3575. Bab fî al-Qâdhî Yakhtha’u. 324. Afifa Rangkuti 2018. Demokrasi dalam Pandangan Islam dan Barat, dalam Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 5 2 49-59. Ahmad al-Râzî Fakhruddîn Ibn al-Allâmah Dhiyâu al-Dîn Umar, Al-Tafsîr Al-Kabîr wa Al-Mafâtîh Al-Ghaib.... Juz 4 108. Al-Jawi, Muhammad Nawawi, Syeikh. tth,. Mirah Labiid Tafsiru an-Nawawi, Dar al-Kutub Islamiyyah Jakarta,Juz 1 194. Al-Maududiy, Abu al-A’la. 1977. Mabdi’u al-Islam. Damaskus Dar al-Qur’an al-Karim 130. Al-Shabuni, Muhammad Ali. tth. al-Shafwah al-Tafasir, Beiru Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Jilid 1 330. Azyumardi Azra. 1996. Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Postmodernisme, Jakarta Paramadina, cet 1 147-148. Carto Nuryanto. 2018. Penegakan Hukum Oleh Hakim Dalam Putusannya Antara Kepastian Hukum Dan Keadilan. dalam Jurnal Hukum Khaira Ummah. 13 1 73. Eva Iryani Hukum Islam. 2017. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. 17 2 24-31. Farida Nur Afifah 2020. Demokrasi dalam Al-Qur’anImplementasi Demokrasi di Indonesia dalam Jurnal Kaca Jurusan Ushuluddin STAI AL FITHRAH. 10 1 6-32. Jurnal Al Ashriyyah, Volume 7 No 2 Oktober 2021 109-120 Page 120 Muhammad Soleh Ritonga Fazlur Rahman 1405/1985. Islam dan Modrenitas. Bandung Pustaka 54. Harun Nasution. 1975. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran Dan Gerakan. Jakrta Bulan Bintang 131. Ilyas Bayunus dan Farit Ahmad. 1996. Sosiologi Islam Dan Masyarakat Kontemporer. Bandung Mizan 54. Irfan Idris.15 Agustus 2019. Ini Kriteria Radikalisme Menurut BNPT sourches URL Jalâl al-Dîin Muhammad ibn Ahmad Al-Mahallî dan Jalâl al-Dîin Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthî. Tafsîr al-Jalâlain, Qâhirah Dâr al-Hadîts 27. M. Rais Ahmad 2013. Penegakan Hukum atas Keadilan dalam Pandangan Islam dalam Jurnal Mizan; Jurnal Ilmu Syariah, FAI Universitas Ibn Khaldun UIKA BOGOR. 1 2 143-148. Muhammad Alî al-Shâbûnî 1420 H/ 1999 M. Shafwah al-Tafâsîr, Jakarta Dâr al-Kutub al-Islâmiyah, cet 1, jilid 1 240. Muhammad bi Jarîr bin Yazîz bin Katsîr bin Ghâlib al-Âmiliy Abû Ja’far al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân fî ta’wîl al-Qur’ân. 1420 H/ 2000 M. Bairût Muassasah al-Risâlah. Cet 3 141. Sakina Rakhma Diah Setiawan. 15 Agustus 2019. Akademisi Minta Pemerintah Perjelas Definisi Radikal sourches URL Sukron Kami 2013 Pemikiran Poiitik Islam Tematik, Jakarta Kencana Prenada Media Grouop, cet 1 85. Sulaiman Rasjid, H.2005. Fiqh Islam, Bandung Sinar Baru Algensindo, cet 37 504. Taqiyu al-Dîn Abî Bakrin Muhammad al-Husainiy al-Hushniy al-Damasyqiy al-Syâfi’iy. 1422 H/2001 M. Kifâyatu al-Akhyâr fî halli Ghâyati al-Ikhtishâr. Bairut Dâr al-Kutubu al-Ilmiyyah 727-729. Tim Penyusun Kamus Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta Balai Pustaka, .cet. 16 1151-1152. Yusuf Qardhawi, al-Shahwah al-Islamiyah bain al-Juhud wa al-Tatharuf, diterjamahkan oleh Hawin Murthado dengan judul, Islam Radikal; Analisis terhadap Radikalisme dalam Ber-Islam, Solo Era Intermedia, cet 1 23. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Rais AhmadThe human being is a very important factor in achieving legal justice. Legal justice is very coveted by anyone, including offenders though. If in a country that tends to act unjust law, including judges, then the government must act to prevent it. The government should enforce legal justice, not even apply to the unjust people. So that social justice can be created in people's lives, in addition there is help each other in doing good. There is a sense of interdependence with one another in social life interdependence.Keywords Islam, Justice, Law EnforcementAbstrak Faktor manusia merupakan sesuatu yang sangat penting dalam mencapai keadilan hukum. Keadilan hukum sangat didambakan oleh siapa saja termasuk pelaku kejahatan sekalipun. Jika dalam suatu negara ada yang cenderung bertindak tidak adil secara hukum, termasuk hakim, maka pemerintah harus bertindak mencegahnya. Pemerintah harus menegakkan keadilan hukum, bukan malah berlaku zalim terhadap rakyatnya. Sehingga keadilan sosial dapat tercipta dalam kehidupan masyarakat, selain terdapat saling tolong-menolong sesamanya dalam berbuat kebaikan. Terdapat naluri saling ketergantungan satu dengan yang lain dalam kehidupan sosial interdependensi.Kata Kunci Islam, Keadilan, Penegakan HukumAfifa Rangkutip>Dalam praktek kehidupan bernegara sejak masa awal kemerdekaan hingga hari ini, ternyata pemahaman demokrasi saat ini di Indonesia terdiri dari beberapa model demokrasi perwakilan yang berbeda satu dengan lainnya. Sejak era reformasi, ada perubahan politik yang signifikan di Indonesia. Melihat implementasi demokrasi di era reformasi ini sering disebut sebagai masa-masa euforia kebebasan, kita harus jujur dan rela merupakan cara untuk mengembangkan demokrasi kita yang tidak sehat, sehingga konsep demokrasi yang berulang kali kita kembangkan itu dapat meningkatkan situasi dan segera membawa bangsa ini keluar Dari krisis multidimensi yang terjadi, bahkan ada tanda-tanda semakin memperburuk situasi. Ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan demokrasi adalah Imran 159. Sementara di dalam Al Qur'an membahas musyawarah di 38. Diskusi tentang konsep demokrasi pada akhirnya menuntun umat Islam untuk bergerak maju dan mengimplementasikan garis besar Qur'an dan Sunnah Nabi dan praktek masyarakat yang ada di zaman Nabi dan Sahabat-Sahabatnya. Penggalian demokrasi itu penting dan relevan karena dalam Al Qur'an dan kehidupan Nabi dan Muslim sebelum kita ada dalam kehidupan masyarakat yang adil, beradab dan menjunjung tinggi nilai persaudaraan yang dapat dipertanggungjawabkan dalam kehidupan sosial di Indonesia.ra> dalam Islam adalah sama? Untuk menjawab permasalahan ini, berbagai kalangan cendekiawan Muslim menyajikan konsepnya yang antara satu dengan lainnya saling berbeda pendapat. Itulah beberapa permasalahan yang akan dicoba dibedah dalam artikel ini. B. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengertian Demokrasi Asal kata demokrasi adalah “demos”, sebuah kosa kata Yunani berarti masyarakat, dan “kratio” atau “krato” yang dalam bahasa Yunani berarti pemerintahan. Demokrasi secara etimologis berarti “pemerintahan oleh rakyat” rule by the people. Dilihat dari sejarahnya, pertama kali, istilah ini digunakan sekitar lima abad sebelum Masehi. Chleisthenes—tokoh pada masa itu—dianggap banyak memberi kontribusi dalam pengemba-ngan demokrasi. Chleisthenes adalah tokoh pembaharu Athena yang menggagas sebuah sistem pemerintahan kota. Pada 508 SM, Chleisthenes membagi peran warga Athena ke dalam 10 kelompok. Setiap kelompok terdiri dari beberapa demes yang mengirimkan wakilnya ke Majelis yang terdiri dari 500 orang wakil. Sejatinya, jauh sebelum bangsa Yunani mengenal demokrasi. Para ilmuwan meyakini, bangsa Sumeria yang tinggal di Mesopotamia juga telah mempraktikkan bentuk-bentuk demokrasi. Konon, masyarakat India Kuno pun telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan mereka, jauh sebelum Yunani dan Romawi. “Demokrasi muncul dari pemikiran manusia,” ungkap Aristoteles seorang pemikir termasyhur dari Yunani. Gagasan demokrasi yang berkembang di Yunani sempat hilang di barat, saat Romawi Barat takluk ke tangan suku Jerman. Pada abad pertengahan, Eropa Barat menganut sistem feodal. Kehidupan sosial dan spiritual dikuasai Paus dan pejabat agama Lawuja Magna Charta yang lahir pada 1215 dianggap sebagai jalan pembuka munculnya kembali demokrasi di Barat. Pada masa itu, muncullah pemikir-pemikir yang mendukung berkembangnya demokrasi seperti, John Locke dari Inggris 1632-1704 dan Montesquieu dari Prancis 1689-1755. Demokrasi tumbuh begitu pesat ketika sampai masa renaissance, istilah ini digunakan untuk suatu sistem demokrasi langsung, yakni masyarakat secara langsung menempati posisi pemerintahan. Mereka berperan dalam seluruh aktivitas politik, legislatif, eksekutif, yudikatif dsb. Sejak dulu, sistem pemerintahan semacam ini ditentang oleh filsuf-filsuf besar. Plato menyifatinya sebagai pemerintahan orang-orang bodoh. Aristoteles menamakan-nya pemerintahan orang-orang miskin tak berkeutamaan. Abu Nasr Al-Farabi dan Ibn Rusyd menyebutnya sebagai kebusukan dalam pemerintahan utama madi>nah fad}i>lah. Salah satu keberatan lain yang cukup kasat mata adalah bahwa sistem ini sama sekali tidak praktis apabila jumlah masyarakat telah membesar. Oleh karena itu, Jean Jacques Rousseau beserta filsuf politik lain me-nyempurnakannya dengan teori demokrasi perwakilan, sistem pemilihan para wakil rakyat sebagai pemerintah. Sistem perwakilan ini telah menjadi norma berharga dan prinsip yang diterima di dunia sehingga memaksa banyak cendekiawan muslim menciptakan teori demokratisasi Islam. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, dilaksanakan secara langsung oleh mereka, atau oleh wakil terpilih dalam sistem pemilu yang definisi ini maka Abraham Lincoln, salah seorang mantan Presiden Amerika Serikat, mengatakan bahwa dalam proses demokrasi mengharuskan adanya partisipasi rakyat dalam memutuskan suatu permasalahan dan me-ngontrol pemerintahan yang Sadek J. Sulaiman mengatakan bahwa prinsip dasar demokrasi adalah adanya Ali Nawaz Memon, “Membincang Demokrasi,” dalam Islam Liberalisme Demokrasi, terj. Mun’im A. Sirry Jakarta Paramadina, 2002, 3. Sadek J. Sulaiman, “Demokrasi dan Shura,” dalam Islam Liberal, ed. Charles Khurzman, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaedi Jakarta Paramadina, 2003, 125. Ia adalah seorang mantan duta besar Oman untuk Amerika Serikat. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 kesamaan antara seluruh manusia. Apa pun bentuk diskriminasi manusia, baik yang berdasarkan ras, gender, agama, status sosial, adalah bertentangan dengan demokrasi. Lebih lanjut ia mengatakan dalam demokrasi ada tujuh prinsip Pertama, kebebasan berbicara. Dalam sistem ini setiap warga negara bebas untuk mengemukakan pendapatnya tanpa harus merasa takut. Dalam sistem demokrasi, hal ini sangat penting untuk mengontrol kekuasaan agar berjalan dengan benar. Kedua, pelaksanaan pemilu. Pemilu ini merupakan sarana konstitusional untuk melihat dan menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau perlu diganti dengan yang lain. Ketiga, kekuasaan dipegang oleh mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas. Prinsip ini mengakui adanya hak oposisi suatu kelompok terhadap pemerintah. Keempat, sejalan dengan prinsip ketiga, dalam sistem demokrasi, partai politik memainkan peranan penting, rakyat berhak dengan bebas mendukung partai mana yang lebih sesuai dengan pandangan dan pilihannya. Kelima, demokrasi meniscayakan pemisahan antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan pemisahan ini akan ada checks and balances, sehingga kekuasaan akan terhindar dari praktik-praktik eksploitatif. Keenam, demokrasi menekankan adanya supremasi hukum. Semua individu harus tunduk di bawah hukum, tanpa memandang kedudukan dan status sosialnya. Ketujuh, dalam demokrasi, semua individu atau kelompok bebas melakukan perbuatan. Karenanya semua individu bebas mempunyai hak milik, tanpa boleh diganggu oleh pihak manapun. 2. Antara Demokrasi dan Shu>ra>Menanggapi permasalahan di atas, kalangan intelektual Muslim saling berbeda pendapat. Sebagian dari mereka memandang demokrasi dan shu>ra>adalah dua hal yang identik; sebagian yang lain memandang berbeda yakni demokrasi dan shu>ra>adalah dua hal yang saling berlawanan. Sebagian lagi dengan maksud mendamaikan dua kubu yang Sulaiman, “Demokrasi dan Shura.”, 125. berlawanan di atas berpendapat bahwa antara demokrasi dan shu>ra>dalah dua istilah yang mempunyai sisi persamaan, dan tak sedikit juga sisi perbedaannya dengan Islam. Hasil Kongres Amerika pada tahun 1989, memutuskan beberapa kriteria sebuah negara bisa dikatakan demokratis bila; Pertama, didirikan sistem politik yang sepenuhnya demokratis dan representatif berdasarkan pemilihan umum yang bebas dan adil; Kedua, diakui secara efektif kebebasan-kebebasan fundamental dan kemerdekaan-kemerdekaan pribadi, termasuk kebebasan beragama, berbicara dan berkumpul; Ketiga, dihilangkan semua perundang-undangan dan peraturan yang menghalangi berfungsinya pers yang bebas dan terbentuknya partai-partai politik; Keempat, diciptakan suatu badan kehakiman yang bebas; dan Kelima, didirikan kekuatan-kekuatan militer, keamanan, dan kepolisian yang tidak memihak. Kriteria yang tidak jauh berbeda juga diungkapkan oleh Franz Magnis Suseno dan Afan Ghafar. Menurut Franz Magnis Suseno, sebuah negara demokrasi apabila ia memiliki; 1.Negara hukum; 2. Pemerintahan yang berada di bawah kontrol nyata masyarakat; 3.Ada pemilihan umum berkala yang bebas; 4. Prinsip mayoritas; dan 5.Adanya jaminan terhadap hak-hak demo-kratis dasar. Sedangkan menurut Afan Ghafar hampir sama dengan Franz Magnis dengan tanpa menyebutkan beberapa prinsip di atas, sepintas terlihat bahwa konsep demokrasi sesuai dengan apa yang diajarkan dalam Alquran tentang shu>ra>, tetapi apakah benar kedua istilah ini sama, baik itu dalam konsep maupun aplikasinya. Dalam bagian Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi; Telaah Konseptual dan Historis Jakarta Gaya Media Pratama, 2002, 32. Franz Magnis-Suseno, “Demokrasi Tantangan Universal,” dalam Agama dan Dialog Antar Peradaban, ed. M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher Jakarta Paramadina, 1996, 127. Afan Ghafar, “Demokratisasi dan Prospeknya di Indonesia Orde Baru,” dalam pengantar Buku Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi; Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, ed. Elza Peldi Taher Jakarta Paramadina, 1994, xxvii-xxix. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 selanjutnya akan diuraikan kajian kritis tentang konsep demokrasi dan shu>ra>. Demokrasi selalu muncul sebagai isu sentral dalam setiap episode sejarah peradaban manusia dan merupakan satu-satunya isu dan wacana yang mampu menyatukan cita ideal manusia sejagad karena wacana demokrasi mampu melintasi batas-batas geografis, suku bangsa, agama, dan kebudayaan. Menanggapi permasalahan ini, kalangan intelektual Muslim saling berbeda pendapat. Mengutip klasifikasi yang dilakukan oleh John L. Esposito dan James P. Piscatori, tanggapan para cendekia-wan Muslim terhadap demokrasi bisa diklasi-fikasikan menjadi tiga kelompok;Pertama, sebagian dari mereka memandang demokrasi dan shu>ra>adalah dua hal yang identik akan tetapi terdapat juga perbedaan. Di antara cendekiawan Muslim yang beranggapan seperti adalah Imam Khomeini. Ia mengatakan bahwa di satu sisi Iran menganggap bahwa Tuhan sebagai penguasa mutlak yang semua perintah-Nya harus diikuti, sedangkan di sisi lain sebagai negara republik, Iran memandang perlunya partisipasi rakyat di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya, seperti lewat pemilu untuk memilih wakil mereka di parlemen, pemilu presiden. Pemerintah Iran merupakan pemerintahan hukum Tuhan atas manusia sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, tetapi juga dengan parlemen yang bertugas menyusun program untuk berbagai kementerian, dengan kekuasaan tertinggi di tangan seorang Muslim lainnya yang masuk dalam kelompok ini adalah Taufiq al-Syawi dalam bukunya “Fiqh al- Shu>ra> wa al-Istisharah” ia mengatakan bahwa demokrasi merupakan bentuk shu>ra>versi Eropa. Meskipun begitu, demokrasi tidak sama dengan shu>ra>karena tidak berpegang pada dasar syariat Islam. Menurutnya, John L. Esposito dan James P. Piscatori, “Islam dan Demokrasi,” Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran Islam April-Januari, no. 4 1994, 19-21. Riza Sihbudi, “Masalah Demokratisasi di Timur Tengah,” dalam Agama, Demokrasi, dan keadilan, terj. M. Imam Aziz Jakarta Gramedia, 1993, 174. atau lihat Riza Sihbudi, “Bahasa dalam Kelompok Syi’ah, Kasus Vilayat Faqih,” Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran Islam, no. 5 1994, 47-48. demokrasi konvensional sangat rentan terha-dap prilaku diktator, karena demokrasi memungkinkan penguasa melakukan upaya tertentu merebut dan mempengaruhi ke-kuasaan legislatif, lalu menciptakan undang-undang tersendiri yang berfungsi untuk memperluas kekuasaannya. Dengan begitu ia menegaskan bahwa sistem shu>ra>sebenarnya telah melangkah lebih maju ketimbang sistem demokrasi modern, karena sistem shu>ra>mewajibkan para penguasa berpegang pada syariat atau sumber samawi yang lebih tinggi dari penguasa yang tidak memungkinkan mereka mencampurinya, sekalipun pada persoalan yang tidak dijelaskan secara pasti, karena itu wewenang sebagian yang lain memandang berbeda yakni shu>ra>dan demokrasi adalah dua hal yang saling berlawanan dan harus ditolak. Di antara cendekiawan Muslim yang masuk dalam katagori ini adalah Syaikh Fadhallah Nuri, Sayyid Qutub, al-Sya’rawi, Ali Benhadji, Hasan Turabi, Abu> al-A’lâ al-Maudu>di>. Menurut Syaikh Fadhallah Nuri, demokrasi adalah persamaan semua warga negara, dan hal ini menurutnya sangatlah tidak mungkin dalam Islam. Dalam demokrasi, perbedaan yang luar biasa yang tidak mungkin dihindari pasti terjadi. Misalnya; antara yang beriman dan yang tidak beriman, antara yang kaya dan miskin, antara faqih ahli hukum dan penganutnya. Tidak hanya itu, ia juga me-nolak legislasi oleh manusia. Agama Islam menurutnya tidak memiliki kekurangan yang memerlukan penyempurnaan dan dalam Islam tidak ada seorang pun yang diizinkan me-ngatur hukum. Karena itu, ia menegaskan bahwa demokrasi sangatlah bertentanga dalam mengecam terhadap demokrasi juga disampaikan oleh Sayyid Qutub, ia mengatakan bahwa demokrasi adalah sebuah pelanggaran terhadap kekuasaan Tuhan dan merupakan suatu bentuk tirani sebagian orang Taufiq Al-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, terj. Djamaluddin ZS Jakarta Gema Insani Press, 1997, 21-23. John L. Esposito, Islam dan Politik Jakarta Bulan Bintang, 1990, 118. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 kepada yang lainya. Menurutnya mengakui kekuasaan Tuhan berarti melakukan penen-tangan secara menyeluruh terhadap kekuasaan manusia dalam seluruh pengertian, bentuk, sistem dan kondisi. Ia menambahkan bahwa agresi menentang kekuasaan Tuhan adalah bentuk jahiliyah. Ia menandaskan bahwa negara Islam harus berlandaskan pada prinsip musyawarah, karena Islam sebagai sebuah sistem hukum dan moral sudah lengkap, sehingga dengan demikian tidak ada lagi legislasi lain yang mengatasinya. Pendapat serupa pula dikatakan oleh Mutawali al-Sya’rawi seorang ulama besar asal Mesir yang mengatakan bahwa Islam dan demokrasi tidak bersesuaian, dan shu>ra>tidak dengan sendirinya demokrasi mayoritas. Ali Benhadji seorang pemimpin FIS Front Islamique du Salut mengatakan bahwa konsep demokrasi adalah sebuah konsep Yudeo-Kristen yang harus diganti dengan prinsip-prinsip kepemimpinan yang inhern dalam Islam. Para teotitisi politik Barat sendiri, kata Benhadji mulai melihat sistem demokrasi adalah sistem yang cacat. Menurutnya demokrasi hanya dinilai baik jika lebih menguntungkan Barat daripada negara Islam itu John L. Esposito dan James P. Piscatori bahwa sebagian umat Muslim mencemaskan model demokrasi Barat serta sistem pemerintahan yang dicanangkan Inggris. Sebenarnya, reaksi negatif tersebut merupakan ungkapan dari penolakan secara redikal terhadap kolonialisme Eropa, dan merupakan pembelaan terhadap Islam dalam usaha mengurangi ketergantungan umat Islam terhadap negara-negara Barat. Ungkapan penolakan terhadap kolonialisme Eropa tadi berakibat pada penolakan terhadap sistem demokrasi sebagian lagi dengan maksud mendamaikan dua kubu yang berlawanan di Kamil, Islam dan Demokrasi; Telaah Konseptual dan Historis, 48. John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim Bandung Mizan, 1999, 214. John L. Esposito dan James P. Piscatori, “Islam and Democracy,” Middle East Journal VL, no. III 1991. Atau lihat Fahmi Huwaydi, Al-Isla>m wa al-Demuqra>ti>yah Kairo Markaz al-Ahram, 1993. . atas berpendapat bahwa antara shu>ra>dan demokrasi adalah dua istilah yang mempunyai sisi persamaan. Di antara para cendekiawan yang masuk dalam kelompok ini adalah Muhammad Husein Heikal, Fahmi Huwaidi, Mohammad Taha, Abdullah Ahmad al-Na’im, Bani Sadr, Mehdi Bazargan, Hasan al-Hakim, Amin Rais. Menurut Fahmi Huwaidi, demokrasi adalah sangat dekat dengan Islam dan substansinya sejalan dengan Islam. Argumentasi yag dihadirkan oleh Fahmi Huwaidi adalah; Pertama, beberapa hadits menunjukan bahwa Islam menghendaki pemerintahan yang disetu-jui oleh rakyatnya. Kedua, penolakan Islam kepada kediktatoran. Ketiga, dalam Islam, pemilu merupakan kesaksian rakyat dewasa bagi kelayakan seorang kandidat dan mereka tentu saja seperti yang diperintahkan Alquran. Keempat, demokrasi merupakan se-buah upaya mengembalikan sistem kekhila-fahan Khulafa al-Rashidi>n yang memberikan hak kebebasan kepada rakyat yang hilang ketika beralihnya sistem kekuasaan Islam kepada sistem kerajaan. Kelima, negara Islam adalah negara keadilan dan persamaan ma-nusia di depan hukum. Kelima, suara mayoritas tidaklah identik dengan kesesatan, kekufuran dan ketidaksyukuran. Keenam, legislasi dalam parlemen tidaklah berarti penentangan terhadap legislasi Husein Heikal berpendapat bahwa kebebasan, persaudaraan, dan persa-maan yang merupakan semboyan demokrasi dewasa ini juga termasuk di antara prinsip-prinsip utama Islam. Kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh paham demokrasi sekarang sebenarnya juga merupakan kaidah-kaidah Islam. Mohammad Taha salah seorang pemikir Sudan mengatakan bahwa demokrasi sejajar dengan sosialisme. Keduanya adalah dua sayap masyarakat yang dibutuhkan. Sosialisme merupakan proses mencari kemak-Fahmi Huwaidi, Demokrasi, Oposisi, dan Masyarakat Madani, terj. M. Abdul Ghofar Bandung Mizan, 1996, 193. Muhammad Husein Heikal, Pemerintahan Islam, terj. Tim Pustaka Firdaus Jakarta Pustaka Firdaus, 1993, 95. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 muran sosial yang lebih baik, maka demokrasi merupakan proses pembagian kekuasaan yang mesti mendahuluinya. Menurut Taha, demo-krasi bukan akhir dari sebuah tujuan, tetapi sebagai sarana untuk meraih tujuan me-realisasikan martabat manusia. Demokrasi tidak hanya pandangan dari suatu pemerintahan, tetapi juga pandangan hidup, dan demokrasi merupakan pendekatan terbaik bagi usaha pencapaian martabat manusia. Taha menyadari bahwa dalam demokrasi banyak ketidaksempurnaan, meskipun begitu me-nurutnya ketidaksempurnaannya lebih rendah dibandingkan dengan marxisme. Ia menam-bahkan bahwa demokrasi adalah kebalikan dari kediktatoran di mana ia merupakan tipe pemerintahan yang memiliki kemampuan tinggi dalam menyediakan kesempatan bagi manusia untuk merealisasikan kehormatan dan kemuliaannya. Yang menarik dari pemikiran Taha adalah ia mela-kukan kritik terhadap konsep shu>ra> yang menurutnya shu>ra>bukan-lah ajaran asli Islam tetapi cenderung sebagai sebuah ajaran subsider. Menurutnya musya-warah bukanlah demokrasi, tetapi lebih sebagai aturan di mana individu-individu dewasa menyiapkan negara menuju demo-krasi. Dengan tegas ia menyatakan justru demokrasi adalah merupakan konsep asli Islam. Pandangan apresiatif terhadap demokrasi juga datang dari seorang mantan presiden pertama Iran masa Imam Khomeini yakni Bani Sadr. Ia mengatakan bahwa konsep wilayatul Faqih Imam khomeini yang di-terapkan di Iran hingga sekarang telah memberikan peranan yang terlalu besar kepada ulama dalam urusan kenegaraan, mereka menguasai lembaga perwalian yang memiliki hak veto. Dengan hak seperti itu, maka akibatnya kekuasaan sulit dikontrol dan tingkat partisipasi politik rakyat menjadi sangat rendah, padahal dalam sistem demo-krasi, kontrol terhadap kekuasaan dan adanya partisipasi politik rakyat merupakan dua unsur yang sangat dominan. Pendapat senada pun diungkapkan oleh politisi Iran lainnya yakni Mehdi Bazargan yang mengatakan bahwa Kamil, Islam dan Demokrasi; Telaah Konseptual dan Historis, 61. demokrasi sebagai kebenaran universal yang tidak perlu terhadap konsep demokrasi juga datang dari Amin Rais yang merupakan salah seorang cendekiawan Indonesia, bahwa ia tidak melihat adanya pertentangan antara Islam musyawarah dengan demokrasi. Hanya saja menurutnya istilah demokrasi dewasa ini telah disalahpahami menurut kepentingan politik rezim yang berkuasa. Lebih lanjut ia mengutarakan tiga alasan penerimaannya terhadap konsep demokrasi; pertama, secara konsep dasar, Alquran me-merintahkan umat Islam agar melaksanakan musyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah mereka. Kedua, secara historis, Nabi mempraktekkan musyawarah dengan para sahabat. Ketiga, secara rasional, umat Islam diperintahkan untuk menyelesaikan dilema dan masalah-masalah mereka. Salah seorang ulama yang mempunyai pendapat seperti yang terakhir di atas adalah Yusuf Al-Qardhawy, ia mengatakan bahwa secara substansi, demokrasi tidak bertentangan dengan Islam, bahkan ajaran substansi demokrasi telah lama dikenal oleh substansi demokrasi sudah dikenal oleh Islam, akan tetapi rinciannya diserahkan kepada ijtihad orang-orang Muslim, sesuai dengan dasar-dasar agamanya, kemaslahatan dunianya, perkembangan hidupnya menurut pertimbangan tempat dan waktu serta trend kehidupan manusia. Lantas pertanyaannya adalah apakah substansi dari demokrasi itu sendiri?. Ia menjawab bahwa substansi demokrasi terlepas dari berbagai definisi istilah-istilah akademis adalah suatu proses pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk mengangkat seseorang yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Dan hal ini tentu saja mereka tidak akan mengangkat seseorang yang tidak mereka sukai atau sistem yang mereka benci. Mereka berhak memperhitungkan pemimpin yang Dawam Rahardjo, “Syura,” Jurnal Ulumul Qur’an 1, no. 1 1989, 34. Yusuf Al-Qardhawy, Fiqih Daulah; Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, terj. Kathur Suhardi Jakarta Pustaka al-Kautsar, 1997, 184. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 melakukan kesalahan, berhak mencopot dan menggantinya dengan orang lain jika me-nyimpang. Alasan lain diterimanya konsep demokrasi dalam Islam menurutnya karena demokrasi mempunyai beberapa kelebihan, di antaranya adalah demokrasi telah menuntun ke beberapa bentuk dan sarana, yang hingga kini dianggap sebagai satu-satunya sistem yang memberi jaminan keselamatan bagi rakyat dari jarahan tangan para tiran. Meski-pun begitu, sistem demokrasi juga tak bisa dilepaskan dari kecacatan dan kekurangan, seperti lazimnya perbuatan manusia yang tak lepas dari kekurangan. Ia menganjurkan bahwa tidak ada salahnya bagi kita untuk mencari alternatif sistem lain yang lebih ideal dan lebih baik, tapi harus lebih mudah diterapkan dalam kehidupan manusia. Karena itu, tak ada salahnya bagi kita untuk me-ngambil sistem demokrasi, sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan dan shu>ra>,menghormati hak-hak manusia, menghadang langkah para tiran di muka bumi menarik dari pemikiran Yusuf Al-Qardhawy ini di dalam memperkuat argumentasinya adalah dengan memakai kaidah hukum “Apabila yang wajib tidak bisa mencapai sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu pun hukumnya wajib”. Dari sinilah kita bisa mengambil tatacara demokrasi dan kandungan-kandungannya yang sesuai dengan diri kita dan kita bisa menyaring dan membenahinya. Jika kita bandingkan pendapat Yusuf Al-Qardhawy di atas dengan pendapat Taqi-yuddin Al-Nabhani sangatlah bertolak belakang. Taqiyuddin Al-Nabhani mengatakan jika suatu istilah asing mempunyai makna yang bertentangan dengan Islam, istilah itu tidak boleh digunakan. Sebaliknya, jika maknanya terdapat dalam khazanah pemikiran Islam, istilah tersebut boleh digunakan. Dalam hal ini menurutnya Islam telah melarang umatnya untuk menggunakan istilah-istilah yang menimbulkan kerancuan, apalagi Al-Qardhawy, Fiqih Daulah; Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, 183. Al-Qardhawy, Fiqih Daulah; Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, 192-193. kerancuan yang menghasilkan pengertian-pengertian yang bertolak belakang antara pengertian yang Islami dan yang tidak Islami. Pernyataan senada pun dikuman-dangkan oleh Ihsan Sammarah dalam kitabnya Mafhu>m Al-’Adalah Al-Ijtima’iyah fi> Al-Fikri> Al-Isla>mi> Al-Mu’as}iryang menyatakan penolakannya atas penggunaan istilah yang dapat menimbulkan kerancuan atau bias, yang pengertiannya kemungkinan berupa makna Islami atau makna yang tidak Islami. Karena itu, penggunaan istilah demokrasi, teokrasi, atau teo-demokrasi tidak dapat diterima, karena pengertiannya mengandung ambi-valensi antara yang mengartikannya menurut perspektif sekular dan yang mengartikannya menurut perspektif dua pendapat di atas yang bertolak belakang, nampaknya keduanya di dalam memandang demokrasi berawal dari persepsi yang berbeda. Yusuf Al-Qardhawy memahami demokrasi dari sisi substansi yang dibawa oleh demokrasi itu sendiri. Sedangkan Taqiyuddin Al-Nabhani dan Ihsan Sammarah memandang demokrasi bukan dari pesan yang dibawanya melainkan dari sejarah ke-munculan istilah itu sendiri yakni dari Barat yang tentunya berbeda dengan Islam. Membicarakan tentang apakah konsep demokrasi sesuai atau malah bertentangan dengan Islam memang tidak mudah. Karena bagaimanapun, konsep ini bermula dari Barat yang tentunya mempunyai latar belakang alasan kemunculannya tersendiri. Meskipun begitu, tidak sedikit para ilmuwan Islam yang memandang bahwa konsep demokrasi sesuai dengan konsep Islam. Berbagai istilah yang dikenal dalam Islam kerapkali disama-samakan atau disepadankan dengan pengertian demokrasi, seperti keadilan adl, persamaan musa>wah, musyawarah shu>ra>. Meskipun begitu, tidak sedikit ilmuwan Muslim menolak penyamaan antara demokrasi dengan beberapa istilah di atas dengan alasan bahwa Muslim Taqiyuddin Al-Nabh}ani, Niz}am Al-Isla>m, 2001, 85-86. Ih}sa>n Sammarah, Mafhu>m Al-'Ada>lah Al-Ijtimaiyah fi> Al-Fikri> Al-Isla>mi> Al-Mu’as}irBairut Da>r Al-Nahd}ah Al-Isla>miyah, 1991, 10-11. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 tidak dibolehkan untuk menciptakan kesepakatan-kesepakatan yang dinegosiasikan terhadap segala sesuatu yang dipercaya ber-tentangan dengan hukum Allah dan hal ini berbeda dengan demokrasi, apapun boleh dinegosiasikan. Melihat dari kenyataan di atas, maka alangkah baiknya jika kita sedikit berhati-hati ketika membicarakan kaitan antara demokrasi dengan Islam. Untuk memperjelas uraian dua istilah di atas, penulis terlebih dahulu menguraikan istilah shu>ra>dalam Alquran. Kata shu>ra> yang berasal dari kata kerja “shawara-yushawiru” secara etimologis be-rarti menjelaskan, menyatakan atau mengaju-kan dan mengambil sesuatu. Bentuk lain yang berasal dari kata kerja “shawara” adalah ashara memberi isyarat, “tashawara” be-runding, saling bertukar pendapat, “shawir” meminta pendapat, dan “mustashir” me-minta pendapat orang lain. Dari istilah-istilah di atas dapat dimengerti bahwa shu>ra>adalah saling menjelaskan dan merundingkan pen-dapat atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara. Jika merujuk pada definisi istilah yang tertera dalam kamus “Lisa>n al-Arab” maka kata shu>ra>yang berasal dari kata “sha-w-r” secara etimilogis berarti mengeluarkan madu dari sarang definisi ini, Quraish Shihab memberikann definisi shu>ra>dengan segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain untuk memperoleh kebaikan. Menurutnya hal tersebut semakna dengan pengertian lebah yang mengeluarkan madu yang berguna bagi shu>ra>sendiri sebenarnya sudah dikenal dan dipraktekkan bangsa Arab pada masa pra-Islam. Sebagaimana dikatakan oleh Fazlur Rahman bahwa shu>ra>merupakan tuntutan abadi dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Hanya saja Alquran merubah shu>ra>dari sebuah institusi suku yang berlandaskan pada hubungan darah menjadi institusi komunitas yang menekankan prinsip Ibn Manzu>r, Lisa>nul ’Arab, Jilid 4 Beirut Da>r al-Shadr, 1968, 434. Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Bandung Mizan, 1996, 469. hubungan iman. Tesis Fazlur Rahman ini mendapatkan argumentasi pembenaran jika merujuk ungkapan Muhammad Yusuf Musa yang mengatakan bahwa masyarakat Arab pemuka Arab kalau mereka tidak diajak untuk bermusyawarah dalam urusan mereka, mereka akan kecewa dan berkecil hati. Hal ini semata-mata dilakukan dalam rangka mem-pererat hungan darah dengan mereka dan menghilangkan rasa kecewa di kalangan merujuk pada penjelasan Alquran, maka kata shu>ra>dapat dijumpai dalam tiga ayat. Pertama Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyu-suan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita keseng-saraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berke-wajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikann pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” QS al-Baqarah 233 Dalam ayat ini diuraikan bagaimana antara suami dan istri diharuskan untuk bermu-syawarah ketika mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak termasuk di dalamnya menyapih anaknya sebelum berumur dua tahun. Kedua Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka men-Muhammad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan Jakarta LP3ES, 1985, 49-50. Muhammad Yusuf Musa, Niz}a>m al-H{ukm fi> al-Isla>m Kairo Da>r al-Katib al-Arabi>, Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 jauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulat-kan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. QS Ali-Imran 159 Asba>b al-nuzu>l ayat ini ketika terjadi perang Uhud yang membawa kekalahan bagi umat Islam, pada waktu itu, Nabi sendiri mengalami luka-luka. Atas kejadian itu, maka turunlah ayat ini dalam rangka memberi pelajaran kepada Nabi dan seluruh umat Islam agar selalu melakukan musyawarah dalam memutuskan sesuatu yang bersangkutan bagi kemaslahatan umat. Ketiga Dan bagi orang-orang yang menerima mematuhi seruan Tuhannya dan men-dirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. QS al-Shu>ra 42 38 Ayat ini Allah memberikann uraian tentang salah satu ciri seorang mukmin yaitu mendirikan sholat dengan baik dan benar, menafkahkan rizki dengan amanah dan ia selalu bermusyawarah sebelum mengambil keputusan. Ketiga ayat di atas menjelaskan bahwa Islam sangat menganjurkan umat Islam untuk selalu mengedepankan musyawarah terlebih dahulu sebelum memutuskan sebuah perkara. Terbukti dengan dimasukkannya musyawarah sebagai ciri orang yang beriman sebagaimana dalam surat al-Shura ayat 38 di atas. Meskipun Alquran sangat mementingkan musyawarah, akan tetapi Allâh tidak me-nguraikan bagaimana prosedur, bentuk atau tata cara bermusyawarah. Hal ini secara tidak langsung memberikan gambaran kepada manusia bahwa Alquran bukanlah seperti karya ilmiah lainnya yang harus ditulis dan diuraikan dengan sangat mendetail agar tidak terjadi kesalahan pemahaman. Alquran adalah kitab suci petunjuk umat Islam yang bersifat global. Keglobalan tersebut memberikan kesempatan kepada manusia untuk memikir-kan bagaimana prosedur dan mekanisme pe-nyelesaiannya yang sesuai dengan kebu-tuhannya termasuk di dalamnya masalah shu>ra. Penafsiran lain mengapa Alquran tidak memberikan penjelasan secara mendetail tentang shu>ra karena Alquran ternyata menganut prinsip bahwa untuk permasalahan-permasalahan yang sifatnya bisa berkembang sesuai dengan kondisi, budaya, politik, dan ekonomi, maka Alquran tidak mengu-raikannya secara final, akan tetapi hanya menetapkan garis-garis besarnya saja. Langkah ini bertujuan memberikan kesem-patan kepada manusia untuk memikirkan penyelesaiannya secara baik dan sesuai dengan kebutuhannya sejauh tidak melanggar atau bertentangan dengan ketentuan yang jelas dilarang dalam Alquran. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim “Kalian lebih mengetahui persoalan dunia kalian”, atau sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Ahmad “Yang berkaitan dengan urusan agama kalian, maka kepadaku rujukannya, dan yang berkaitan dengan urusan dunia kalian, maka kalian lebih mengetahui”. Uraian di atas memunculkan permasalahan dalam hal apa sajakah yang harus dimusyawarahkan sebelum mengambil keputusan? Dalam menjawab permasalahan ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian di antara mereka seperti Muqatil, Ibn Abi Rabi’ mengatakan bahwa permasalahan-permasala-han yang harus dimusyawarahkan hanyalah yang berkaitan dengan strategi berperang sesuai dengan penjelasan surat Ali Imran ayat 159 di atas. Kelompok ini nampaknya menafsirkan ayat di atas secara literalis atau harfiah sehingga kejadian atau asba>b al-nuzu>layat di atas menjadi patokan bahwa per-masalahan yang dibolehkan untuk dimu-syawarahkan hanya berkaitan dengan strategi berperang saja tidak pada yang lain. Berbeda dengan pendapat-pendapat ulama di atas, ulama lain seperti Hasan Basri, al-Dahaq mengatakan bahwa permasalahan-Musa, Niz}a>m al-H{ukm fi>> al-Isla>m. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 permasalahan yang harus dimusyawarahkan hanya khusus terkait pada masalah yang berkaitan dengan urusan duniawi saja bukan dalam permasalahan agama. Alasan mereka adalah bahwa sebenarnya Nabi tidaklah membutuhkan jawaban-jawaban dari saha-batnya, akan tetapi bermaksud mendidik umatnya betapa musyawarah ini merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan sosial politik umat Islam. Pendapat lain, pendapat ulama-ulama modern, yang menga-takan bahwa musyawarah tidaklah dilakukan hanya untuk permasalahan duniawi saja, akan tetapi juga untuk permasalahan keagamaan. Untuk itulah menurut kelompok ini, musya-warah dalam segi apa pun harus dilakukan baik urusan duniawi maupun agama. Kema-juan teknologi, agama pun akan terkena imbas dan tentunya membutuhkan solusi yang tidak bisa ditunda-tunda. Dari ketiga pendapat di atas, tampaknya pendapat yang lebih masuk akal dan realistis adalah pendapat yang terakhir, yang mengemukakan argumentasi jika perkembangan dan perubahan masyarakat tidak di antisipasi untuk diberikan solusinya secara bersama-sama, maka tidak tertutup kemungkinan umat Islam dengan tidak mem-butuhkan waktu yang lama akan tertinggal jauh. Konsep di atas jika dibandingkan dengan pengertian teori demokrasi sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam demokrasi apa pun boleh dinegosiasikan; dalam demokrasi, semua individu atau kelom-pok bebas melakukan perbuatan, maka kelom-pok yang ketiga di atas secara otomatis mene-rima dan menganggap bahwa pesan-pesan demokrasi sesuai dengan Islam. Meskipun begitu, menurut hemat penulis, bagaimanapun tidak semua permasalahan agama harus dimusyawarahkan. Ada beberapa hal yang tidak layak atau dilarang untuk dimusyawarahkan misalnya dalam hal keimanan, ibadah, seperti tentang pembagian jumlah rakaat shalat dalam setiap waktunya tidak perlu dimusyawarahkan atau ditukar-Musa, Niz}a>m al-H{ukm fi>> al-Isla>m. tukar sesuai dengan kehendak hatinya karena hal ini sudah baku atau qat}’i. Permasalahan lain yang muncul jika musyawarah dikaitkan dengan negara adalah siapa yang berhak untuk melaksanakan musyawarah dan menentukan kebijakan pemerintah. Quraish Shihab mengutip sebuah hadits Wahai Ali, jangan bermusyawarahah dengan orang penakut, karena dia memper-sempit jalan keluar, jangan juga dengan orang kikir, karena dia menghambat engkau dari tujuanmu, juga tidak dengan yang berambisi, karena dia akan mem-perindah untukmu keburukan sesuatu. Ketahuilah wahai Ali, bahwa takut, kikir, dan ambisi merupakan bawaan yang sama. Semuanya bermuara pada prasangka buruk kepada di atas memberikan pemahaman bahwa untuk melakukan musyawarah sebaik-nya tidak dilakukan secara sembarang, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan untuk memilih siapa yang layak diajak bermusyawarah. Hadis di atas juga mem-berikan petunjuk bahwa tidak semua anggota masyarakat harus dilibatkan dalam proses musyawarah. Sebagai contoh apa yang pernah dilakukan oleh sahabat Nabi ketika melakukan pemilihan siapa yang layak menjadi pengganti Nabi setelah Nabi meninggal. Pada saat itu tidak semua sahabat Nabi diharuskan untuk berkumpul. Hanya sebagian saja yakni sahabat Nabi yang mempunyai kredibilitas tinggi yang diperkenankan hadir. Di samping itu, dili-batkan juga beberapa utusan kepala dari masing-masing suku. Ini membuktikan bahwa musyawarah tidak dilakukan terhadap semua anggota masyarakat. Hanya mereka yang dianggap layak yang berhak untuk mengikuti musyawarah. Quraish Shihab ketika mengomentari surat Ali Imran 159 mengatakan bahwa sebenarnya ayat ini telah memberikan arahan kepada kita perihal sikap yang harus diperhatikan ketika hendak bermusyawarah. Ia mengatakan, sedikitnya ada tiga sikap yang harus Shihab, Wawasan Al-Qur’an, 480. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 diperhatikan pertama, adalah sikap lemah lembut. Dalam bermusyawarahah apabila sebagai pemimpin, haruslah ia menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala. Karena jika tidak, maka mitra musyawarah akan meninggalkannya. Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru sebagaimana kalimat ayat tersebut fa’fu ’anhum maafkan mereka. Ketiga, adalah hendaknya selalu menjaga keharmonisan hubungan dengan Tuhan, dengan cara memohon ampunan Ilahi sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat tersebut dengan kalimat “wa istaghfir lahum”.Jika merujuk pada penjelasan literatur klasik, dijelaskan bahwa mereka yang ditunjuk untuk melakukan musyawarah dalam rangka mencari jalan keluar terhadap permasalahan yang dihadapi umat Islam, disebut oleh Al-Mawardi dengan Ahl al-H{all wa al-Aqdorang yang berhak melepas dan mengikat. Ahl al-H{all wa al-Aqdadalah sekelompok orang yang mempunyai kualitas tinggi dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan, dan dijadikan tempat untuk bertanya dan sekaligus merekalah yang ditugasi untuk melakukan musyawarah dalam rangka mencari solusi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam baik itu dalam permasalahan yang dihadapi negara atau pun rakyatnya. Atau sebagaimana ungkapan Muhammad Abduh yang mengatakan Ahl al-H{all wa al-Aqdsebagai orang yang menjadi rujukan masya-rakat untuk kebutuhan dan kepentingan umum mereka, yang mencakup pemimpin formal maupun non-formal, sipil maupun yang membedakan antara shu>ra dan demokrasi. Sisi lain perbedaan antara shu>ra dan demokrasi adalah dalam hal pengambilan keputusan. Menurut Quraish Shihab sedikitnya manusia mengenal tiga cara dalam mengambil keputusan pertama, keputusan yang ditetapkan oleh penguasa. Kedua, keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan minoritas. Ketiga, keputusan yang ditetapkan Shihab, Wawasan Al-Qur’an, 473-475. Dikutip oleh Shihab, Wawasan Al-Qur’an, 481. berdasarkan pandangan mayoritas. Dari tiga model keputusan ini maka Quraish mengatakan bahwa konsep shu>radalam Islam tidak tepat jika mengambil model yang pertama di atas. Tidak hanya itu, model kedua pun menurutnya tak pantas bagi konsep shu>ra. Ia berkata jika suara minoritas menjadi pilihan, apa keistimewaan pendapat minoritas sehingga menjadi pilihan? Sebagai jawaban-nya ia merasa cocok dengan model ketiga, akan tetapi hal itu tidaklah mutlak. Untuk memperkuatnya, ia mengutip ungkapan Ahmad Kamal Abu al-Majid yang menga-takan bahwa keputusan janganlah langsung diambil berdasarkan pandangan mayoritas setelah melakukan sekali dua kali musya-warah, tetapi hendaknya berulang-ulang hingga dicapai kata begitu, menurut penulis, dalam konsep shu>ra proses pengambilan keputusan tidak mesti ditentukan dengan suara mayoritas. Ada kalanya suara minoritas justru yang dipilih, hal ini disebabkan mungkin suara minoritas yang lebih tepat untuk dipilih. Kondisi ini pernah terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar. Pada waktu itu Khalifah pernah mengabaikan pendapat suara mayoritas dalam hal sikap terhadap para pembangkang pembayar zakat. Pada saat itu sebagian mayoritas sahabat yang dimotori oleh Umar Ibn Khatab berpendapat bahwa orang-orang yang menolak membayar zakat tetaplah dikatakan Muslim dan tidak boleh diperangi. Akan tetapi Khalifah Abu Bakar pada waktu itu tetap memilih untuk memerangi mereka yang enggan membayar zakat sekaligus meno-lak mereka yang menghendaki untuk tidak memeranginya sebagaimana dimotori oleh Umar. Pendapat Abu Bakar pun kemudian disetujui oleh forum dan realisasi kebijakan Khalifah pun berjalan dalam sejarah. Kondisi penolakan atas suara mayoritas pun pernah dilakukan pada masa Khalifah Umar. Saat itu permasalahan yang menjadi agenda musyawarah adalah perihal harta rampasan perang ghanimah berupa tanah. Pada saat sebagian sahabat menghendaki agar Shihab, Wawasan Al-Qur’an, 482-483. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 harta yang dimiliki oleh mereka yang kalah berperang dirampas dan kemudian dibagikan kepada mereka yang mengikuti peperangan. Alasan mereka karena cara seperti ini diajarkan oleh Nabi dan juga dipraktekkan pada masa Khalifah Abu Bakar. Kebijakan ini kemudian ditentang oleh Khalifah Umar. Umar dan beberapa sahabat minoritas menghendaki agar harta rampasan itu tidak disita, akan tetapi dikembalikan lagi kepada mereka sebagai pemilik sah dan umat Islam hanya boleh memungut pajaknya saja. Dan pada akhirnya kebijakan Umar pun disetujui oleh semua sahabat dan hal itu terrealisasi juga dalam sejarah. Dari adanya beberapa pendapat di atas, yang terpenting dalam konsep shu>raadalah seberapa besar nilai kebaikan dari pendapat-pendapat tersebut—baik itu dari minoritas maupun mayoritas. Jika ternyata pendapat minoritas yang lebih banyak manfaatnya, maka ia pun menjadi pilihan, begitu sebalik-nya. Inilah menurut penulis di antara sisi perbedaan lainnya dengan demokrasi yang mensyaratkan bahwa hanya suara mayoritaslah yang menjadi pilihan. Begitu pentingnya konsep shu>radalam sebuah negara membuat konsep ini dijadikan oleh Jumhur Ulama sebagai syarat bagi seseorang yang akan diangkat menjadi seorang pemimpin negara. Menurut Jumhur Ulama, proses pemilihan seorang pemimpin negara haruslah dengan jalan musyawarah. Lalu pertanyaannya bagaimana mekanisme menja-lankan musyawarah dalam memilih pemimpin negara dalam dunia realitas. Dalam hal ini para ulama menentukan tiga cara;Pertama, pemilihan secara bebas melalui musyawarah tanpa pencalonan lebih dahulu oleh seseorang. Menurut para ulama, hal ini pernah dicontohkan ketika pemilihan Abu Bakar. Ia dipilih secara bebas tanpa dipersiapkan oleh Rasulullah Saw untuk menjadi penggantinya. Kedua, Khalifah mempersiapkan putra mahkota sebagai penggantinya jika antara keduanya tidak ada hubungan keluarga. Cara Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib Jakarta Logos, 1996, 95-96. ini pernah dicontohkan oleh Abu Bakar ketika memilih Umar. Pengangkatan putra mahkota ini sifatnya pengajuan calon saja dari Abu Bakar dan bukan suatu kemestian. Ketiga, mempersiapkan salah seorang dari tiga orang atau lebih anggota masyarakat yang dipandang terbaik di dalam masyarakat. Dan cara yang ketiga ini nampaknya menjadi pilihan setiap negara di dalam memilih pemimpinnya. 3. Hubungan Islam dan Demokrasi Kasus Indonesia Setelah di atas kita memfokuskan pada kajian seputar makna dari demokrasi dan syura, dan beberapa tipologi pandangan intelektual Muslim terhadap isu demokrasi, pada bagian ini akan coba disajikan potret penerapan demokrasi dengan mengambil sampel kasus di Indonesia. Pengambilan kasus Indonesia dalam hal ini sangat menarik karena dua alasan; pertama, Indonesia dilihat dari kuantitas jumlah adalah penganut agama Islam mayoritas di dunia dibandingkan negara-negara berpenduduk Islam lainnya. Kedua, dalam kasus penerapan demokrasi, Indonesia adalah negara paling berhasil dalam menerapkan isu memotret kasus Indonesia ini, penulis berdasar pada penemuan Saiful Mujani melalui riset disertasinya yang kemudian dibukukannya dengan judul “Muslim Demokrat; Islam, Budaya Demo-krasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru”.Buku yang ditulis oleh Saiful Mujani ini adalah sebuah bantahan bagi mereka yang mengatakan bahwa Islam atau masyarakat Islam tak sesuai dengan demokrasi atau tak akan bisa mene-rima konsep penerapan demokrasi. Saiful Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 2007. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Buku ini pada awalnya adalah sebuah disertasi untuk memperoleh gelar doktor dalam ilmu politik dari Departemen Ilmu Politik, di The Ohio State University, Colombus, Amerika Serikat. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 Ada banyak ilmuwan yang mengatakan bahwa Islam cenderung akan menolak istilah dan penerapan demokrasi. Di antaranya adalah Samuel P. Huntington yang mengatakan bahwa bila orang Islam berusaha memper-kenalkan demokrasi ke dalam masyarakat mereka, usaha itu cenderung akan gagal karena Islam, yang sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka, tidak mendukung demokrasi. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa kegagalan demokrasi di negara-negara Muslim antara lain disebabkan oleh watak budaya dan masyarakat Islam yang tidak ramah terhadap konsep-konsep liberalisme serupa pun dikumandangkan oleh Elie Kedourie. Ia menyatakan bahwa ajaran, norma, kecenderungan, pengalaman keseharian orang Islam telah membentuk pandangan politik kaum Muslimin yang khas dan jauh dari modern. Menurutnya peradaban Islam bersifat unik; kaum Muslim bangga akan warisan masa lalu mereka dan bersikap tertutup terhadap dunia luar. Peradaban seperti ini menurutnya akan menghambat kaum Muslim untuk mempelajari dan menghargai kemajuan politik dan sosial yang dicapai oleh peradaban senada pun diung-kapkan oleh Bernard pandangan di atas yang sedikit menyentil Islam terbantahkan jika kita berkaca pada kasus Indonesia. Berdasarkan riset Saiful Mujani ditemukan bahwa meskipun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, ternyata masyarakat Islam Indonesia cukup menarik dengan penerapan demokrasinya. Meskipun buku ini tidak bisa secara total menggugurkan teori Elie Kedourie, Bernard Lewis, dan Samuel P Huntington karena masih banyak negara-negara mayoritas muslim lainnya yang cenderung membenarkan pandangan tokoh di atas, akan tetapi minimal kehadiran buku ini bisa sedikit dijadikan cacatan bahwa ternyata Samuel P Huntington, The Clash of Civilizations Remaking of The World Order New York Simon and Schuster, 1997, 112. Elie Kedourie, Democracy and Arab Political Culture Portland Frank Cass, 1994. Bernard Lewis, What Went Wrong ? Western Impact and Middle Eastern Response Oxford Oxford University Press, 2002, 100. ada juga negara yang mayoritas muslim men-dukung secara baik penerapan demokrasi, dan negara itu adalah Indonesia. Jika kita membaca buku ini, istilah demo-krasi dipahami melalui dua cara; sebagai sebuah kompleks budaya politik dan sebagai partisipasi politik. Sebagai sebuah konsep budaya politik, demokrasi mencakup unsur-unsur saling percaya antar sesama warga interpersonal trust, jaringan keterlibatan kewargaan networks of civic engagement, toleransi, keterlibatan politik, kepercayaan pada institusi politik, kepuasan terhadap kinerja demokrasi, dukungan terhadap prinsip-prinsip demokrasi, dan dukungan terhadap masyarakat politik modern, yakni negara-bangsa nation-state. Sebagai partisipasi politik, demokrasi merupakan seperangkat aksi politik yang bersifat sukarela—mulai dari voting hingga protes—oleh warga negara biasa dengan tujuan mempengaruhi kebijakan yang ditulis oleh saudara Saeful Mujani ini mencoba membuktikan apakah Islam mempunyai hubungan negatif dengan demokrasi. Ada sekitar sepuluh hipotesis yang akan dibuktikan dalam buku ini; Pertama, “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak percaya kepada orang lain pada umumnya”. Berdasarkan hasil penelitian di Indonesia, hipotesis tersebut tidak menemukan pembuktiannya. Tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan sikap saling percaya pada orang lain pada “semakin Islami seorang Muslim, ia akan semakin cenderung tidak percaya kepada non-Muslim”. Dalam kasus kaum Muslim Indonesia hipotesis ini tertolak. Tidak ada satu pun unsur Islam, kecuali “Islamisme” yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan faktor kepercayaan terhadap non-Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 313. Untuk lebih jelasnya terkait dengan data penelitian ini dapat dilihat pada halaman 117-149. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 315. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 Muslim. Baik didefinisikan sebagai keper-cayaan terhadap orang lain secara umum maupun terhadap non-Muslim. Islam secara keseluruhan tidak berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kepercayaan antar sesama warga. Rendahnya kepercayaan antar sesama warga di kalangan Muslim Indonesia tidak memiliki korelasi signifikan dengan “semakin Islami seorang Muslim, cenderung semakin rendah pula keterikatan-nya dalam aktivitas kewargaan yang bersifat sekular”. Hipotesis ini untuk Indonesia tidak meyakinkan. Tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan jaringan keterlibatan dalam perkum-pulan sekular. Sebaliknya, hampir semua unsur Islam memiliki korelasi positif, signi-fikan, dan konsisten dengan jaringan keter-libatan tersebut. Karena itu untuk kasus Indonesia, Islam ternyata memperkuat, bukan memperlemah, keterlibatan kaum Muslim dalam perkumpulan kewargaan yang bersifat “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak toleran terhadap orang Kristen”. Hipotesis ini jika dilihat secara empirik di lapangan terlihat mempunyai pembuktiannya. Respon bagi kelompok Islamis memiliki korelasi negatif, signifikan dan konsisten dengan sikap toleran terhadap orang Kristen. Akan tetapi untuk kasus ini, Saeful Mujani menyatakan bahwa untuk kasus kaum Muslim Indonesia, Islamisme tidak identik dengan Islam. Karena itu, toleransi dalam hal ini lebih baik diukur dengan sikap toleran terhadap kelompok yang paling tidak disukai, dan bukan diukur dengan sikap toleran terhadap kelompok tertentu seperti Kristen. Karena dengan pengertian toleransi politik seperti ini, lebih sensitif terhadap persoalan konsolidasi demokrasi. Karena itu klaim bahwa Islam memiliki korelasi negatif Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 315. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 316. Untuk lebih jelasnya terkait dengan data penelitian ini dapat dilihat pada halaman 153-186. dengan konsolidasi demokrasi, karenanya, harus diukur dengan melihat sejauh mana Islam memiliki korelasi negatif dengan toleransi politik secara umum tersebut. Karena itu hipotesisnya adalah; “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak toleran terhadap kelompok yang paling tidak disukainya”. Untuk kasus Indonesia, hipotesis ini tidak terbukti. Karena tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan sikap toleran terhadap kelompok yang paling tidak disukai. Sebaliknya, jaringan keterlibatan dalam per-kumpulan Islam memperlihatkan korelasi yang relatif signifikan dan positif dengan toleransi politik secara “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak terlibat dalam politik”. Untuk kasus ini, Saeful Mujani melihat dari keterilabatn umat Islam dalam mengikuti berita politik; baik melalui media massa, diskusi politik dan perasaan penting-nya menentukan sikap dalam proses politik. Untuk kasus Indonesia, hipotesis ini ternyata juga tidak terbukti secara empiris. Tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan unsur keterlibatan politik. Sebaliknya, beberapa unsur Islam, seperti ibadah, memiliki korelasi yang signifikan, langsung, konsisten, dan positif dengan keterlibatan politik. Kesim-pulan akhir, justru Islam membantu me-ngintegrasikan para penganutnya dengan sistem demokrasi melalui keterlibatan “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak percaya pada institusi politik”. Dari hasil survai ditemukan bahwa ternyata bahwa tak satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan lemahnya tingkat kepercayaan pada institusi politik. Sebaliknya, Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 317. Untuk lebih jelasnya terkait dengan data penelitian ini dapat dilihat pada halaman 189-217. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 318. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 ada sejumlah indikasi yang menegaskan bahwa Islam memiliki korelasi yang positif dan signifikan dengan kepercayaan pada institusi ini. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa dari sudut pandang stabilitas demokrasi, ternyata tidak ada indikasi bahwa Islam dapat mengakibatkan destabilitasi pemerintahan demokrasi. Justru sebaliknya Islam memiliki kontribusi “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak puas terhadap kinerja demokrasi”. Dari hasil survai ditemu-kan ternyata tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan kepuasan terhadap kinerja demokrasi. Ternyata dari sini dapat disimpulkan bahwa tingkat kesalehan kaum Muslim Indonesia ternyata tidak terkait dengan evaluasi mereka terhadap kinerja demokrasi sebuah “semakin Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak mendukung prinsip-prinsip demokrasi”. Untuk kasus Indonesia, ternyata hipotesis ini tidak terbukti secara empiris. Tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan dukungan terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Bahkan Saeful Mujani menemukan bahwa sikap kalangan Islamis pun yang diduga kuat memiliki korelasi negatif, ternyata tidak terbukti. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa Islam ternyata mempunyai dan memi-liki potensi untuk memperkuat demokrasi, seperti tentang ijtiha>d, ijma>’, ikhtila>f, dan shu> Islami seorang Muslim, ia semakin cenderung tidak mendu-kung negara-bangsa”. Dari hasil penelitian juga ditemukan bahwa ternyata hipotesis ini Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 318. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 319. Untuk lebih jelasnya terkait dengan data penelitian ini dapat dilihat pada halaman 221-250. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 320. tidak terbukti secara empiris karena tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan dukungan terhadap negara-bangsa Islami seorang Muslim, cenderung semakin kecil partisipasi-nya dalam politik, kecuali jika objek dari partisipasinya itu bersifat keislaman”.Dari hasil pengamatan ternyata hipotesis itu tidak terbukti untuk kasus kaum Muslim Indonesia. Karena tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan partisipasi politik, terlepas dari apa pun objek partisipasinya, entah bersifat keagamaan atau pun non-keagamaan. Kesepuluh,“semakin Islami seorang Muslim, cenderung semakin kecil kemung-kinannya untuk menjadi warga yang setia, dan semakin besar kemungkinannya untuk menjadi warga yang teralienasi, naif, dan apatis”. Dari hasil survai, hipotesis ini ternyata tidak terbukti. Untuk kasus umat Islam Indonesia, warga negara yang setia dan teralienasi relatif lebih aktif dalam semua bentuk partisipasi politik—yang terlembagakan dan yang tidak terlembagakan, yang konvensional dan yang non-konvensional—dibanding warga negara yang naif dan apatis. Lebih lanjut ia menemukan bahwa dikalangan warga yang setia, tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dengan statusnya sebagai warga yang penelitian di atas, Saeful Mujani menyimpulkan bahwa ternyata tidak ada satu pun unsur Islam yang memiliki korelasi negatif dan signifikan dengan satu unsur demokrasi. Keseluruhan proposisi bahwa Islam memiliki korelasi negatif dengan demokrasi jika mengacu pada hasil survai kaum Muslim Indonesia terbantahkan. Berdasarkan data ini, maka pendapat mereka yang menyatakan bahwa Islam mempunyai Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 321. Untuk lebih jelasnya terkait dengan data penelitian ini dapat dilihat pada halaman 253-292. Mujani, Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, 323. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 korelasi negatif dengan demokrasi dengan mengacu pada pandangan kaum Muslim Indonesia terbantah atau secara otomatis gugur. C. SIMPULAN Dari uraian di atas, menurut hemat penulis, bahwa antara demokrasi dan shu>rabanyak sekali titik persamaannya meskipun juga ada beberapa celah perbedaannya. Lalu mengapa kita mesti takut menerima konsep demokrasi? Menurut hemat penulis, menolak demokrasi dengan alasan bahwa istilah ini datang dari Barat dan syarat akan muatan misi dan demo-krasi juga dianggap lebih mengusung sisi mayoritas dan meninggalkan minoritas, adalah pendapat yang keliru tidak objektif. Bukan-kah kita telah diajarkan oleh Nabi kita bahwa mencari hikmah boleh di mana saja. Dan hikmah itu mungkin saja datang dari negeri Barat—tidak selamanya dari Timur negara bermayoritas muslim. Sudahkah kita me-nyadari bahwa terkadang kita juga secara tidak disadari bersikap ala demokrasi, seperti dalam masalah mencari argumentasi dalam bidang fikih hukum Islam misalnya. Kita selalu mengatakan bahwa ”hendaklah dalam mencari dan mengikuti sebuah ketentuan hukum selalu berpatokan kepada jumhur ulama atau ma-yoritas pendapat ulama sebagai pegangan”. Jika mereka bersikap seperti ini, berarti mereka juga yang menolak demokrasi secara tidak disadari menjalankan ”ajaran” demo-krasi. Menurut hemat penulis, apakah pendapat ulama yang minoritas itu salah, tentunya tidak atau belum tentu bukan. Karena itu, pemikiran yang bijak haruslah menjadi acuan dan pegangan, baik dalam melihat permasalahan demokrasi atau pun yang kasus umat Islam Indonesia berdasarkan penelitian Saeful Mujani dalam bukunya “Muslim Demo-krat” ternyata umat Islam Indonesia begitu menerima dan berhubungan positif dengan konsep demokrasi yang selama ini dianggap ”mahluk asing” dan bertentangan dengan ajaran Islam. Wallahu a’lam. DAFTAR PUSTAKA Al-Qardhawy, Yusuf. Fiqih Daulah; Dalam Perspektif Alquran dan Sunnah. Diterjemahkan oleh Kathur Suhardi. Jakarta Pustaka al-Kautsar, 1997. Al-Syawi, Taufiq. Syura Bukan Demokrasi. Diterjemahkan oleh Djamaluddin ZS. Jakarta Gema Insani Press, 1997. Al-Nabh}ani, Taqiyuddin. Niz}am Al-Isla>m. 2001. Esposito, John L. Islam dan Politik. Jakarta Bulan Bintang, 1990. Esposito, John L., dan James P. Piscatori. “Islam and Democracy.” Middle East Journal VL, no. III 1991. ———. “Islam dan Demokrasi.” Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran Islam April-Janu, no. 4 1994. Esposito, John L., dan John O. Voll. Demokrasi di Negara-Negara Muslim. Bandung Mizan, 1999. Ghafar, Afan. “Demokratisasi dan Prospeknya di Indonesia Orde Baru.” Di Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi; Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, diedit oleh Elza Peldi Taher. Jakarta Paramadina, 1994. Heikal, Muhammad Husein. Pemerintahan Islam. Diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus. Jakarta Pustaka Firdaus, 1993. Huntington, Samuel P. The Clash of Civilizations Remaking of The World Order. New York Simon and Schuster, 1997. Huwaidi, Fahmi. Demokrasi, Oposisi, dan Masyarakat Madani. Diterjemahkan oleh M. Abdul Ghofar. Bandung Mizan, 1996. Huwaydi, Fahmi. Al-Isla>m wa al-Demuqra>ti>yah. Kairo Markaz al-Ahram, 1993. Kamil, Sukron. Islam dan Demokrasi; Telaah Konseptual dan Historis. Jakarta Gaya Media Pratama, 2002. Kedourie, Elie. Democracy and Arab Political Culture. Portland Frank Cass, 1994. Lewis, Bernard. What Went Wrong ? Western Impact and Middle Eastern Response. Oxford Oxford University Press, 2002. Islam dan Demokrasi Pandangan Intelektual Muslim dan Penerapannya di Indonesia Wawasan Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 Maarif, Muhammad Syafi’i. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta LP3ES, 1985. Magnis-Suseno, Franz. “Demokrasi Tantangan Universal.” Di Agama dan Dialog Antar Peradaban, diedit oleh M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher. Jakarta Paramadina, 1996. Manzu>r, Ibn. Lisa>nul ’Arab. Jilid 4. Beirut Da>r al-Shadr, 1968. Memon, Ali Nawaz. “Membincang Demokrasi.” Di Islam Liberalisme Demokrasi, diterjemahkan oleh Mun’im A. Sirry. Jakarta Paramadina, 2002. Mujani, Saiful. Muslim Demokrat Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru,. Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 2007. Musa, Muhammad Yusuf. Niz}a>m al-H{ukm fi>>> al-Isla>m. Kairo Da>r al-Katib al-Arabi>, Rahardjo, Dawam. “Syura.” Jurnal Ulumul Qur’an 1, no. 1 1989. Sammarah, Ih}sa>n. Mafhu>m Al-'Ada>lah Al-Ijtimaiyah fi> Al-Fikri> Al-Isla>mi> Al-Mu’as}ir. Bairut Da>r Al-Nahd}ah Al-Isla>miyah, 1991. Shihab, Muhammad Quraish. Wawasan Alquran. Bandung Mizan, 1996. Sihbudi, Riza. “Bahasa dalam Kelompok Syi’ah, Kasus Vilayat Faqih.” Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran Islam, no. 5 1994. ———. “Masalah Demokratisasi di Timur Tengah.” Di Agama, Demokrasi, dan keadilan, diterjemahkan oleh M. Imam Aziz. Jakarta Gramedia, 1993. Sulaiman, Sadek J. “Demokrasi dan Shura.” Di Islam Liberal, diedit oleh Charles Khurzman, diterjemahkan oleh Bahrul Ulum dan Heri Junaedi. Jakarta Paramadina, 2003. Zahrah, Muhammad Abu. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Diterjemahkan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib. Jakarta Logos, 1996. ... Furthermore, Indonesia is a country with the largest Muslim population in the world. It is a model for other countries that Indonesia is a country with a Muslim majority that can maintain peace and democracy, while Indonesia is not a country based on Islamic law 1. Even when referring to Hillary Clinton's statement "Learn Islam to Indonesia", it shows that Indonesia can be an example of how the existence of the majority of Muslims can maintain the pluralism of peace of life as a nation and state, when compared to other countries that have a majority Muslim population and even countries based on Islamic law 2. ...Nahdliyatul Islamiyah Muhammad Turhan YaniThis study aims to determine the implementation of democracy in the Student Activity Unit of the Islamic Spiritual Activity Unit, State University of Surabaya. In this organization not only examines the religion of Islam but also applies the values of democracy applied in the Indonesian state. Democracy implies the meaning of power which is essentially the people who hold the highest mandate in democracy. The essence of democracy is of the people, by the people and for the people. Judging from the meaning of the word democracy, it is clear that the people play an important role. However, in practice it can be understood and implemented differently, even development is very uncontrolled. In the UKKI UNESA organization, it should be in line with the values that exist in democracy and the creation of freedom and deliberation to reach consensus. The research method used is qualitative. Data collection techniques used are interviews, observation, and documentation. Informants in this study were the general chairman, functionaries, and members. The conclusion of this study is that the implementation of democratic values in the organization of the Islamic Spiritual Activity Unit is in line with the principles of Pancasila democratic values which refers to Cipto's theory in journal Aulawi, A., & Srinawati 2019, although it is not perfect yet. The results of this study are expected to be useful and contribute to balancing thoughts on the application of democratic values and can add to the treasures of thoughts for writers and readers in general regarding democratic values. Keyword Democracy, Organization, DiscussionMuhamad Ferdy FirmansyahIndonesian democracy from every period of government will continue to experience development towards maturity. In the life of the state, corruption cannot be separated. The role of political institutions and democratic maturity is very large in eradicating corruption, collusion and nepotism. This study uses secondary data, with used the Indonesian Democracy Index IDI and the Anti-Corruption Perspectives Index Indeks Persepsi Anti-Korupsi/IPEK which is sourced from the Indonesian Central Statistics Agency. Data processing using multiple linear regression statistical analysis. The Indonesian Democracy Index consists of variables of the role of the DPRD, the role of political parties, the role of the local government bureaucracy and the role of an independent judiciary. It was found that the role of DPRD has a significant positive effect on IPAK, the role of political parties has a significant negative effect on IPAK, the role of local government bureaucracy is significant positive and the role of an independent court is not significantly negative for IPAK. It is hoped that to improve the social community that is aware on anti-corruption, it is necessary to increase the role of the DPRD and the role of the local government bureaucracy in accordance with their duties and functions in the government together to eradicate corruption and form a new culture oriented towards the prevention and eradication of FajarThis studyattempts to analysethe relationship between Islam and democracy objectively with logical rational arguments. It aims to clarify the differences between Islam and democracy in terms of values and concepts, in addition to explaining the reasons for the rejection of some Muslims against democracy and the arguments underlying their rejection. Then, itattempts to draw a theoretical relationship between Islam and democracy by asking critical questions, logical assumptions, and arguments that rely on the empirical practice of implementing democracy in Indonesia. Islam and democracy were born from two different ontological areas. Islam as a religion is believed to be sacred and absolute truth because ontologically its teachings come from God. While the democratic political system was born from the historical trajectory of human cultural development, it means that democracy is profane secular, and the truth is contextual perspective of the status quo of Muslim elite power politics. The concept of democracy in terms of genealogy, values, and orientation is not entirely the same as Islamic teachings, but it is not denied that Islamic teachings are in many respects substantially in line with the concept of democracy. Thus, Indonesia is a country with the largest Muslim population in the world, so it is fitting for Indonesian Muslims to become enforcers of democracy based on human religious values. That is a model of democracy that not only provides a place for the growth of people's beliefs or religiosity, but also provides space for the realization of human rights. Therefore, democracy as a concept, in its implementation, of course, must be adapted to the context and culture of the local community, especially Islamic communities such as in Indonesia and in the Middle Rusdi MuhammaddiahRachid Ghannouchi merupakan salah satu tokoh politik Islam terkemuka di Tunisia. Berbagai ide dan gagasannya terangkum dalam Partai politik yang telah didirikannya yang berhaluan kepada nilai dan ajaran Islam yang diberi nama Partai en-Nahda. Belum lama ini, partai yang dipimpin oleh Rachid Ghannouchi tersebut telah mengumumkan fase baru dalam perpolitikannya yaitu dengan mengusung konsep Islam Demokratis al-Islam al-Dimuqratiyah yang sejatinya belum dikenal di negara tersebut dan diklaim merupakan bagian dari ideologi partai Ikhwanul Muslimin di Mesir. Tulisan ini bertujuan untuk melihat langkah yang telah diambil oleh Ghannouchi melalui konsep Islam demokratis al-Islam al-Dimuqratiyah, bagi umat Islam ide non-konvensional Ghannouchi ini dipandang sebagai sesuatu yang baru dan tepat untuk zaman demokrasi modern, khususnya dari epistimologi Islam Politik’ konvensional ke paradigma yang lebih ekslusif dan sesuai dengan realita perpolitikan modern. Hanif Aidhil AlwanaLaw is the result of Fuqaha's ijtihad regarding an act of mukallaf, in its understanding Islamic law is derived from the al-Quran and Sunnah. Although the existence of the al-Qur`an and the Sunnah is not in doubt, the understanding of law from these sources often experiences ikhtilaf differences of opinion, besides this the risk of causing divisions in society, these problems are influenced by schools of legal thought. This paper will describe the history of these schools of thought and their relevance in establishing law. The method used was descriptive analysis, with a qualitative approach based on the content content analysis of previous writings. In this paper, it is found that the difference in legal opinion is influenced by the way of thinking of the mujtahid which is divided into mutakallimin schools which are identical to understanding the legal text; fuqaha with the style of rules and legal reasons extracted from the law-making text syari` or also termed a contextual style; and a combination that seeks to combine the two types of legal understanding, this gives birth to different legal features. This is the scientific treasure of Islamic law which must be developed in the future to always exist in answering legal problems in the Ulfah Ridho Al-HamdiABSTRAK. Penelitian ini membahas tentang evaluasi Peraturan Daerah Perda Nomor 10 Tahun 2007 tentang ketertiban sosial di Kabupaten Banjar. Selain itu, studi ini ingin mengetahui faktor-faktor yang mendukung keberhasilan dan kegagalan penerapan Perda ini. Secara metodologis, studi ini merupakan hasil dari penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi dan wawancara mendalam. Untuk mengukur evaluasi Perda, studi ini enam indicator efektifitas, efisiensi, kecukupan, perataan, responsivitas, dan ketepatan. Temuan studi ini menunjukkan, bahwa dari enam indikator, hanya satu indikator saja yang dianggap berhasil yaitu indikator perataan. Sementara itu, lima indikator lainnya bisa dipastikan tidak berhasil. Hal ini menjadi dasar bagi kesimpulan studi ini, bahwa kebijakan tentang ketertiban sosial ini dapat dikategorikan gagal. Sejumlah faktor turut mempengaruhi kegagalan penerapan Perda ini yaitu efektifitas, kecukupan, dan perataan. Karena itu, kinerja pemerintah harus lebih serius lagi dalam menyelesaikan persoalan tersebut serta tidak pandang bulu dalam memberantas segala perilaku masyarakat yang bertentangan dengan ketertiban sosial sesuai Perda tersebut. Kata Kunci Evaluasi; Ketertiban Sosial; Peraturan Daerah Syariah; Kabupaten BanjarSyaiful BahriSome issues in various classical political fiqh literatures are irrelevant if applied in the current context. This paper discusses how important the reconstruction and renewal of several issues in classical political fiqh is adapted to the plural Indonesian context. In this study, the author uses the Maqasid al-Shariah theory and Ahmad ar-Raisuni’s thinking which specifically addresses political issues as the main frame of analysis. By conducting a library study, this study concludes that several issues in classical political fiqh are indeed irrelevant to the times, and therefore need to be updated and reviewed. In additions, this study also has resulted in a new construction of Indonesian political fiqh which formulated in four crucial issues democracy, state format, criteria for leaders in Indonesia, and application of Islamic Law Shariah.Beberapa isu dalam pelbagai literatur Fiqh Siyāsah klasik sudah tidak relevan jika diterapkan dalam konteks saat ini. Tulisan ini mendiskusikan bagaimana pentingnya melakukan rekonstruksi dan pembaruan terhadap beberapa isu dalam Fiqh Siyāsah klasik disesuaikan dengan konteks Indonesia yang plural. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori Maqāsid al-Shariah dan pemikiran Ahmad ar-Raisuni yang secara spesifik membahas persoalan politik siyāsah sebagai pisau analisis utamanya. Dengan melakukan studi kepustakaan, kajian ini menghasilkan kesimpulan bahwa beberapa isu dalam literatur Fiqh Siyāsah klasik memang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman, dan sebab itu perlu dilakukan pembaruan dan tinjauan ulang. Selain itu, penelitian ini juga menghasilkan konstruksi baru Fikih Politik Indonesia yang dirumuskan dalam empat isu krusial demokrasi, bentuk Negara, kriteria pemimpin di Indonesia, dan penerapan syariat Islam. Toto SuhartoThe study of radicalism among students of State Islamic Institutes shows a significant increase within the recent decade. This article attempts to analyze the level of moderate understanding of the students of the State Islamic Institute IAIN Surakarta. The survey involves 100 students. The past educational background of each student has been deeply explored to figure out the basics of religious understanding they hold. The qualitative and quantitative designs were employed to measure the level of students" understanding of moderate Islam. This study finds that the students of IAIN Surakarta hold the moderate understanding of Islamic teachings. The number reaches 87%. The majority of moderate respondents are graduated from madrasah and pesantren. This is so because pesantren and madrasah, they graduated from, put a strong emphasis on cultivating moderate religious doctrines. This is different from that of general high school graduate students in which they learn the Islamic doctrines from Rohani Islam Rohis. It has been found that the Rohis commonly hold radical and intolerant religious doctrines. This is understandable since the Rohis tends to understand Islamic doctrines textually and scripturally; different from that of Islamic teachings promulgated by pesantren and madrasa. Mokhamad SukronFalsehood bidah becomes an interesting study for Moslem scholars especially on the matters of worship and ritual practices. The committee of tarjîh al-Qur’ân justifies falsehood by referring to H{adith used as the guide and method. The interpretative result toward the h}adith causes different perspective among Moslem scholars. There are three important points that will be elucidated in this article first what method uses MTA in conceiving h}adith in relation with falsehood, second how MTA perspective of bidah, and third is re-construction the h}adith bidah according to MTA. MTA explains that what is called bidah in prophet’s h}adith is bidah in the matter of religion worship that certainly misleading. Yet, the falsehood in relation with worldly matter for MTA must be given a space to branch out as long as it gives positive impact and push people creativity in general meaning. It is suitable with prophet’s h}adith said that “man sanna sunnah h}asanah..... man sanna sunnah sayyiah...”. In this condition, MTA indirectly admits the variant of the bidah. But the ordinary classification differs with the ulama’s classification either in terms of mutaqadimîn or muta’akhirîn, in general point of view, otherwise the classification is in contrary with the religious matters and worldly Tantangan UniversalFranz Magnis-SusenoMagnis-Suseno, Franz. "Demokrasi Tantangan Universal." Di Agama dan Dialog Antar Peradaban, diedit oleh M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher. Jakarta Paramadina, Islam Liberal, diedit oleh Charles Khurzman, diterjemahkan oleh Bahrul Ulum dan Heri Junaedi. Jakarta ParamadinaSadek J SulaimanSulaiman, Sadek J. "Demokrasi dan Shura." Di Islam Liberal, diedit oleh Charles Khurzman, diterjemahkan oleh Bahrul Ulum dan Heri Junaedi. Jakarta Paramadina, 2003. Zahrah, Muhammad Abu. Aliran Politik dan 'Aqidah dalam Islam. Diterjemahkan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib. Jakarta Logos, Islam. Diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus. Jakarta Pustaka FirdausMuhammad HeikalHuseinHeikal, Muhammad Husein. Pemerintahan Islam. Diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus. Jakarta Pustaka Firdaus, di Negara-Negara MuslimJohn L EspositoJohn O DanVollEsposito, John L., dan John O. Voll. Demokrasi di Negara-Negara Muslim. Bandung Mizan, Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 1 Januari 2016 1-17 17Bahasa dalam Kelompok Syi'ah, Kasus Vilayat Faqih Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran IslamRiza SihbudiSihbudi, Riza. " Bahasa dalam Kelompok Syi'ah, Kasus Vilayat Faqih. " Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran Islam, no. 5 1994.Fiqih Daulah; Dalam Perspektif Alquran dan SunnahYusuf Al-QardhawyAl-Qardhawy, Yusuf. Fiqih Daulah; Dalam Perspektif Alquran dan Sunnah.

pandangan ulama tentang demokrasi